Mohon tunggu...
Hanim Munfarida
Hanim Munfarida Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Humor menjadi cara mudah menerima perbedaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

European Union Deforestation Regulation: Hambatan Ekspor Sawit Indonesia, Bentuk Merkantilisme Modern?

8 Maret 2024   10:32 Diperbarui: 8 Maret 2024   14:13 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uni Eropa merupakan organisasi internasional yang terdiri dari 27 negara yang berada di kawasan benua Eropa. Pada akhir 2022 lalu telah menetapkan sebuah regulasi yang berorientasi terhadap anti deforestasi. Uni Eropa menyadari bahwa deforestasi dan degradasi hutan menjadi hal penting dalam mengendalikan perubahan iklim dan berkurangnya biodiversitas. Food and Agriculture Organization menyebutkan bahwa dalam periode 1990-2020, bumi telah kehilangan seluas 420 Ha hutan akibat deforestasi. Dengan adanya regulasi tersebut, Uni Eropa berkomitmen untuk mengurangi dampak buruk deforestasi dan degradasi hutan dengan tidak mengkonsumsi produk yang tidak ramah hutan.

Europen Union Deforestation Regulation (EUDR) menyasar terhadap tujuh komoditas yang dianggap menyumbangkan deforestasi paling banyak. Komoditas tersebut ialah kopi, minyak sawit, kedelai, kayu, karet, coklat dan daging. Peraturan tersebut berlaku bagi komoditas yang akan diekspor maupun diimpor oleh Uni Eropa. Komoditas yang disebutkan diatas dapat memenuhi standar yang ditetapkan dalam EUDR apabila terbebas dari deforestasi, diproduksi dengan mengikuti peraturan yang berlaku di negara asal, dan lolos melalui uji tuntas. Dalam regulasi tersebut dijelaskan kembali bahwa peraturan hanya berlaku bagi komoditas yang diproduksi pada lahan yang dibuka sejak setelah 31 Desember 2020. EUDR juga akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2025.

Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Adanya EUDR tentu dapat mempengaruhi penjualan minyak sawit dari Indonesia. Belanda, Italia, dan Spanyol merupakan tiga negara Uni Eropa yang menjadi pasar minyak sawit Indonesia. Dalam kurun 2019-2022, ekspor minyak sawit ketiga negara tersebut mengalami penurunan jumlah volume. Apabila Indonesia harus mengikuti peraturan tersebut, maka akan ada banyak hal yang harus dilakukan. Hal tersebut tentunya membutuhkan waktu serta biaya yang tidak sedikit.

EUDR, seakan memaksa negara-negara lain untuk mengikuti standar yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Padahal, pada kenyataannya setiap negara didunia memiliki standar yang berbeda-beda terhadap lingkungan dan deforestasi hutan. Selain itu, menurut Arif Havas Oegroseno dalam tulisannya di laman Kompas menyebutkan bahwa peraturan tersebut sebenarnya bukan menyasar komoditas Uni Eropa. Regulasi tersebut mencoba melindungi produksi minyak nabati dalam negeri mereka, dimana saingan utamanya adalah minyak sawit. Malaysia sebagai salah satu produsen sawit juga keberatan dengan regulasi tersebut.Menteri Luar Negeri Malaysia menyebutkan bahwa regulasi tersebut bukan dibentuk untuk itikad baik, namun untuk melindungi produk lain. Sejalan dengan hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung menyebutkan bahwa EUDR merupakan politik dagang yang sedang dilakukan oleh Uni Eropa.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pasar bagi minyak sawit Indonesia di Eropa hanyalah Belanda, Spanyol, dan Italia. Pasar Uni Eropa hanya menyerap 5% dari jumlah panen sawit Indonesia. Pasar tersebut memanglah sangat kecil, dan Indonesia mungkin dapat mencari pasar pengganti jika mereka memang benar-benar menolak. Namun, Uni Eropa beranggotakan negara-negara yang memiliki pengaruh kuat di dunia. Hal ini memungkinkan jika mereka memaksakan standar yang mereka buat juga diberlakukan di negara-negara lain. Selain itu, pasar Crude Palm Oil (CPO) bergantung pada Pasar Rotterdam, Belanda. Jika hal tersebut terjadi, maka benar bahwa ini akan menjadi hambatan ekspor bagi minyak sawit Indonesia.

EUDR, jika ternyata bertujuan untuk menjaga produksi dalam negeri Uni Eropa, maka dapat disebut sebagai merkantilisme modern. Merkantilisme merupakan paham ekonomi yang berpandangan bahwa kemakmuran negara diukur dengan asset dan modal yang dimiliki negara. Ideologi ini eksis hingga tahun 1800-an. Implementasi dari merkantilisme sendiri sangat bergantung terhadap intervensi kebijakan pemerintah. Di masa modern ini kebijakan proteksionisme, pengenaan tarif perdagangan internasional, pembatasan kuota perdagangan internasional dapat digolongkan sebagai bentuk neo-merkantilisme. Hal-hal yang menyangkut peregulasian tersebut tentunya membutuhkan peran pemerintah untuk ikut campur.

Sawit merupakan komoditas utama ekspor Indonesia. Ekspor sawit dan produk turunannya selalu menyumbangkan surplus bagi neraca perdagangan non migas Indonesia. Dalam periode 2010-2020 neraca perdagangan non migas Indonesia jika tanpa sawit hanya surplus pada tahun 2010, 2011, dan 2020. Hal ini menunjukkan bahwa devisa sawit sangat berkontribusi terhadap neraca perdagangan non migas Indonesia. Pada tahun 2022, ekspor sawit dan turunannya mencapai USD 40 miliar atau Rp 600 triliun. Sawit menjadi penting bagi peningkatan devisa Indonesia. Dengan adanya regulasi yang mungkin menghambat perdagangan tersebut, tentu ekspor sawit Indonesia akan sedikit banyak terdampak. Maka, sebagai negara yang berdaulat Indonesia juga harus mampu menjaga perekonomiannya apabila sengaja dipermainkan oleh negara lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun