[caption caption="Bilik Suara di Muktamar Muhammadiyah. (Foto: instagram @persyarikatan_muhammadiyah)"][/caption]Desember tahun ini merupakan sejarah baru bagi rakyat Indonesia. Sebanyak 264 daerah telah memilih pemimpinnya secara serentak. Sistem baru ini membuat beberapa partai politik (parpol) 'terburu-buru' untuk berkoalisi guna memajukan pasangan calon (paslon) kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal tersebut dilakukan agar pemilihan kepala daerah (pilkada) tak ditunda hingga 2017.
Beberapa bulan sebelum dilaksanakannya pilkada serentak, dinamika politik kembali muncul ke permukaan. Bargain antar parpol kembali menghiasi berbagai media. Masyarakat disuguhkan drama-drama politik menjelang pilkada. Kendati demikian, pilkada telah berjalan sukses tanpa kendala yang berarti.
Jawa Timur merupakan provinsi yang paling disorot. Di Surabaya, banyak parpol dibuat 'minder' oleh calon walikota inkumben, Tri Rismaharini. Koalisi 'raksasa' Majapahit dideklarasikan untuk menandingi calon walikota lulusan ITS tersebut. Elektabilitas Risma yang tinggi sukses membuat banyak pihak ketar-ketir. Bongkar pasang calon walikota dan calon wakil walikota dilakukan oleh dua partai mitra koalisi. Hingga akhirnya, Rasiyo-Lucy mengambil posisi dalam percaturan merebut kursi Surabaya Satu. Lamongan tak kalah panas, salah satu anggota paslon dibacok oleh seseorang yang ingin menggagalkan jalannya pilkada serentak. Walaupun pelakunya telah tertangkap, hal tersebut membuktikan sikap masyarakat yang kurang dewasa.
Kehebohan belum selesai. Setelah seluruh proses pemungutan suara usai, masih di Jawa Timur, dua paslon di Kabupaten Sumenep saling klaim kemenangan. Hal tersebut disebabkan oleh dikeluarkannya hasil hitung cepat oleh dua lembaga berbeda dengan 'pemenang' yang berbeda. Kendati demikian, hasil resmi yang sah adalah perhitungan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Â
E-voting ala Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam tertua di negeri ini yang masih eksis. Persyarikatan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan tersebut dapat dikatakan sebagai organisasi yang terstruktur. Apa pasal, segala sesuatu yang ada di tingkat pusat hingga ranting (tingkat desa) terorganisir dengan baik. Salah satunya adalah penggunaan e-voting dalam pemilihan ketua umum.
Dewasa ini, organisasi yang berkantor pusat di Yogyakarta dan Jakarta tersebut telah menggunakan sistem terbarukan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, yaitu e-voting. E-voting adalah suatu metode pemungutan dan perhitungan suara dalam sebuah pemilihan yang tersistem secara elektronik. Dalam pelaksanaan Muktamar ke-47 yang berlangsung di Makassar pada Agustus lalu, sekitar 2.400 peserta menggunakan hak suaranya untuk memilih 13 anggota formatur dengan sistem komputerisasi yang canggih. Alat-alat modern buatan para mahasiswa Universitas Muhammadiyah tersebut melanjutkan suksesi gelaran pemilihan ketua umum Muhammadiyah yang berjalan lancar nyaris tanpa cacat.
Dalam Muktamar Muhammadiyah, sistem e-voting mempunyai beberapa keunggulan. Dengan metode ini, keakuratan hasil pemungutan suara dapat memperkecil skala human error. Selain itu, waktu yang digunakan untuk menghitung suara masuk jauh lebih efisien ketimbang metode manual. Hal yang paling penting adalah transparansi hasil suara. Dalam pelaksanaannya, semua orang dapat menyaksikan tabulasi perhitungan suara pemilihan ketua umum Muhammadiyah secara live pada laman internet yang disediakan oleh panitia.
Tak hanya di tingkat pusat, Muhammadiyah juga mulai menggalakkan penggunaan e-voting pada pemilihan pimpinan di tingkat provinsi. Pada pemilihan ketua Muhammadiyah Jawa Timur, sebanyak 1.200 peserta menyalurkan hak suaranya menggunakan metode elektronik tersebut. Tak hanya untuk internal, organisasi yang membawahi ribuan sekolah tersebut juga menawarkan bantuan kepada pemerintah kabupaten Sidoarjo untuk menggunakan e-voting dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa yang akan berlangsung sebentar lagi di kota udang tersebut.
Â