Saranku menuntun hubungan kita pada sebuah kata “putus”
Aku baru saja terbangun dari sisa begadangku semalaman mengerjakan tugas kuliah yang menumpuk, hampir bersamaan inbox hapeku disinggahi lagi pesan baru...saat itu jam berpihak tepat sebelas siang.
“Hoaaam”, kubaca pesan itu dan seketika mataku seperti ditarik dari dua arah berlaianan secara bersamaan.
Kita putus saja ya, karena hubungan kita tak pantas...
“Waduh, mana tak punya pulsa lagi buat balas”
Aku kemudian teringat kejadian minggu lalu, saat Ia bercerita tentang kepergiannya ke semarang untuk kuliah beasiswa. Nyesel rasanya dia benar-benar mendengarkan pesan terakhirku.
“Rajin shalat ya? biar tidak ikut pergaulan bebas”
Bibirku kelu memberikan balasan untuknya, menyarankannya shalat agar terkesan perhatian.
Aku tertidur saat usahaku mengeja Al-Fatihah
“Mungkin nasib pengelana cinta selalu berakhir sendiri”, ujarku sembari melamunkan wajah perempuan yang meninggalkanku dalam keimanan.
Berkali-kali aku kepikiran, sesekali masih bersisa penyesalan dalam hatiku. “Mengapa aku menjebak diriku dalam kata-kata yang tak begitu kupahami?”
Kudiamkan diriku sejenak, mengambil jeda nafas agar beraturan lalu aku mengigau.
“Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbilalamin..... arrahmanirrahim...”
Temanku yang sibuk membaca artikel-artikel internet menertawakanku, ia tahu kisahku yang masih basah kemarin.
“Gairilmagdubialaihim..... waladdhallin...”
Belum puas aku mengigau, kemudian meracau, mencoba menenangkan emosi dalam diriku yang kian galau. “Ika, semoga saja kau bukan perempuan terakhir untukku, berikutnya aku tak mau ada putus menggema di telingaku”
“Bismillahirrahmanirrahim, alhamdulillahirabbilalamin.....”
Temanku memandangiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H