Geliat kampanye para Caleg di wilayah saya, Jakarta Timur sudah berlangsung sejak akhir tahun lalu. Para Caleg menggaet tim sukses (timses) dari banyak kalangan. Mulai dari ketua Rukun Tetangga (RT), Kepala Sekolah, Ketua komite, sampai ibu rumah tangga.Â
Kebetulan tante saya yang menjabat Ketua Komite di sekolah tempat anak-anaknya menimba ilmu turut menjadi timses salah satu caleg. Hampir jarang saya menjumpainya dirumah yang kebetulan persis disamping rumah saya. Karena kesibukannya, ia banyak menghabiskan waktunya di posko, begitu kalau saya bertanya pada anaknya. "Kemana ibumu, Zi?". Tanya saya pada sepupu kecil yang berusia 7 tahun."Biasa, ke posko, Mbak..".Â
Suatu hari pada awal musim-musim kampanye, Tante saya ingin mengadakan kampanye di lingkungan tempat tinggal saya. Di lingkungan tempat tinggal saya memang terdapat lapangan badminton yang selain fungsi utamanya untuk berolahraga warga lingkungan setempat, juga bisa difungsikan sebagai tempat bermacam-macam kegiatan seperti Posyandu, Pernikahan, dan tempat sosialiasi-sosialisasi lainnya.Â
Sebagai tanah yang diwakafkan untuk fasilitas umum, tentu saja tante saya berinisiatif mengadakan kampanye di lokasi tersebut. Setelah mengantongi izin dari pemilik tanah wakaf, tante saya pun sowan juga ke ketua RT untuk meminta izin diadakannya kegiatan kampanye pertama di lokasi itu, namun ketua lingkungan menolak dengan tegas adanya kampanye di lingkungan kami dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Tentu saja tante saya sebagai salah satu timses kecewa dengan penolakan tersebut. Padahal ia sudah menjelaskan prosedur kampanye yang akan dilakukan. Sekadar bertatap muka dan menyerap aspirasi warga dapil yang akan diwakilkannya ketika terpilih.Â
Akhirnya kampanye pertama caleg yang diusung tante saya berpindahlah ke RT sebelah. Karena masih satu dapil, dan rasa penasaran juga dengan caleg yang diusung tante saya karena melihat gelarnya yang sepertinya lulusan luar negeri. Akhirnya saya menghadiri kampanye tersebut.Â
Seperti yang dikatakan tante saya kampanye yang dilakukan calegnya adalah berupa sosialisasi, perkenalan dan penyampaian aspirasi warga. Di lapangan tersebut berdiri tenda lengkap dengan deretan kursi yang berhadapan dengan meja tempat caleg berdiri.Â
Disana kami mengadakan tanya jawab seputar keluhan warga, ada yang meminta fasilitas umum, ada yang  meminta pelebaran saluran air, dan saya, ketika diberikan kesempatan untuk bertanya, saya mengeluhkan nasib guru tentu saja. Setelah menjawab berbagai keluhan warga, dan menjanjikan akan menyampaikan aspirasinya ketika terpilih nanti dan sebelum pulang  kami diberikan kalender dan sedikit sembako.
Selang beberapa hari, di lapangan tempat tinggal saya diadakan kampanye caleg. Usut punya usut, ternyata ketua lingkungan kami pun ternyata timses salah satu caleg, karenanya ia tidak mengizinkan caleg partai lain kampanye di wilayahnya. Karena saya pikir kampanye yang dilakukan sama seperti kampanye caleg sebelumnya, saya kembali menghadiri kampanye caleg yang  diusung ketua RT kami itu.
Suasana sudah ramai saat saya datang, deretan kursi untuk warga dan deretan kursi untuk para caleg. Ternyata kampanye kedua yang saya hadiri adalah sepasang bapak dan anak. Bapaknya yang saat ini masih menjabat DPRD mencalonkan diri menjadi anggota DPR, dan anaknya (yang wajahnya masih kelihatan muda sekali) mencalonkan diri menjadi anggota DPRD. Â
Tidak ada sesi tanya jawab pada kampanye ini. Hanya memperkenalkan diri (Bapaknya yang kebanyakan berbicara, karena sang anak masih sibuk dengan vape-nya) dan menjanjikan warga disini (Khusus untuk warga RT kami, karena ada beberapa dari RT lain yang datang) bila ia dan anaknya terpilih akan menyediakan bus pariwisata untuk berziarah ke makam wali. Â