Bulan Oktober lalu orangtua saya diberikan kesempatan untuk menunanikan ibadah umroh ke tanah suci. Ini adalah kali pertama mereka menunaikan ibadah umroh, hal yang sepertinya tidak pernah terpikirkan bagi mereka. Ya, keberangkatan bapak dan ibu saya menunaikan ibadah umroh adalah sebuah kado yang telah dipersiapkan oleh kami. Memberangkatkan orangtua ke tanah suci adalah impian setiap anak. Namun karena ibadah haji membutuhkan waktu  tunggu yang relatif lama, atas inisiatif adik saya akhirnya kami memutuskan untuk memberangkatkan mereka ibadah umroh saja terlebih dahulu. Proses pendaftaran dan tetek bengek administrasi sudah diurus oleh abang saya sejak bulan Agustus, bapak dan ibu tahunya sudah beres saja. Dan ketika diberitahu bahwa mereka akan menunaikan umroh, mereka terkejut, bahagia bercampur sedih.
Seperti tradisi masyarakat pada umumnya, sebelum keberangkatan keluarga kami mengadakan Walimatussafar atau momen syukuran sekaligus pamitan untuk orang yang akan bepergian jauh. Menurut Ustadz yang menjadi pemimpin syukuran pada malam itu, mengapa momen walimatussafar sangat penting dilakukan ketika seseorang akan pergi ke tanah suci. Yang pertama adalah bentuk rasa syukur, karena tidak semua  orang mendapat kesempatan 'panggilan' ke tanah suci. Bukan perkara finansial saja, tapi kesiapan dan dorongan atau keinginan seseorang untuk beribadah kesana. Yang kedua adalah momen berpamitan dan meminta doa serta maaf kepada tetangga atau kerabat yang datang agar diberikan kelancaran dalam beribadah disana.
Dalam acara walimatussafar, Pak Ustadz juga memberikan sedikit bimbingan dan pembekalan (walaupun pada manasik haji sebelumnya sudah diberikan bimbingan dan pembekalan) tentang tata krama selama di sana. Juga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jelang keberangkatan, misalnya sakit, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya yang menghalangi niat baik beribadah. Dan yang terakhir ini yang membuat saya dan keluarga agak kepikiran saat itu. Persis keesokan harinya setelah acara walimatussafar, ibu saya dilarikan ke rumah sakit karena maag-nya kambuh.
Seperti yang sudah pernah saya ceritakan pada artikel sebelumnya, ibu saya adalah orang yang tidak pernah mau merepotkan orang lain, pun saat acara walimatussafar itu, untuk semua jamuan makan ibu yang memasak, kami anak-anak dan menantu hanya membeli  bagian yang kecil-kecil saja seperti camilan dan buah-buahan.  Saat acara walimatussafar berlangsung ibu bilang hanya capek dan butuh istirahat sebentar dan menyerahkan semua urusan perjamuan tamu pada saya dan kakak ipar. Begitu acara selesai dan memastikan ibu sudah agak baikan, serta mendoakan semoga di hari keberangkatan ibu saya sudah pulih dan siap saya dan suami pulang kerumah kami (saya di Jakarta, orangtua Bekasi)Â
Keesokan paginya, hari senin saya dikabari oleh adik bungsu bahwa ibu saya dilarikan kerumah sakit karena terus menerus muntah. Kami sekeluarga jelas panik dan khawatir karena hari Kamis adalah hari keberangkatan ibu dan bapak saya ke tanah suci. Tapi ibu memastikan bahwa ibu hanya kelelahan saja dan  Alhamdulillah dokter juga mengatakan demikian.  Hari selasa malam ibu diizinkan pulang dengan catatan obat dan vitamin dibawa dan diminum selama di tanah suci.
Seperti yang sudah dijadwalkan pihak travel, titik kumpul keberangkatan para jamaah berada di gerbang di Tol Gabus (karena banyak jamaah berasal dari Kabupaten Bekasi) pukul 04.00 WIB dini hari.  Jam-jam pagi buta seperti itu tentu saja kami sekeluarga sudah memberitahukan kerabat untuk tidak perlu mengantar keberangkatan orang tua kami. Jadilah keluarga inti kami saja yang mengantar. Abang saya sudah menghitung jumlah keluarga inti sehingga dapat dipastikan kami mengantar orangtua kami cukup dengan mobil seadanya, mobil minibus Xenia dan mobil pick up  Daihatsu Zebra milik bapak. Mobil minibus yang disupiri adik saya khusus untuk  orangtua, adik ipar (yang mewakili suaminya yang masih di laut) dan keponakan saya yang masih kecil-kecil. Walhasil, saya (Suami tidak bisa ikut mengantar karena cutinya habis), adik ipar dan abang saya kebagian di mobil pick-up. Abang saya menyupiri, saya dan adik ipar perempuan saya dibelakang menjaga koper-koper bawaan bapak dan ibu saya.Â
Pukul 01.30 WIB dini hari akhirnya kami berangkat dari rumah ibu setelah banyak drama keponakan-keponakan yang terpaksa harus dibangunkan. Oh iya, saat itu kami juga mengajak salah satu tetangga yang sudah seperti saudara kami. Kami biasa memanggilnya Pakde (yang nantinya ia yang akan membawa mobil pick-up pulang). Pakde naik mobil pick-up bersama saya dan adik ipar saya. Baru menaiki mobil saja pikiran saya sudah kemana-mana. Membayangkan pagi buta, dua perempuan dan satu pria paruh baya menaiki pick up. Dinginnya cuaca malam hari, membayangkan begal-begal yang akan beraksi (overthinking sekali saya saat itu) makanya sejak berangkat saya mewanti-wanti adik saya untuk menjaga koper-koper dan keselamatan kami berdua. "Gak apa-apa, Â kan ada Pakde". Ujar Pakde seperti tahu kekhawatiran saya. "Jam segini pedagang sayur sudah berangkat. Ramai kok di jalan nanti". Katanya lagi. Â Â Â
Sepanjang perjalanan saya tak henti-hentinya berdoa dalam hati, kadang saya memejamkan mata takut-takut melihat hantu karena memang jalan yang kami lewati sepi sekali, dan masih banyak pepohonan besar disisi kanan dan kirinya. Adik ipar saya beberapa kali berusaha menenangkan saya karena melihat gelagat saya tersebut. Sampai akhirnya tibalah kami di gerbang tol Gabus yang memang sudah banyak jemaah umroh disana.Â
Sambil menunggu bus yang akan memberangkatkan para jamaah ke Bandara, bapak dan ibu berbaur dengan jemaah lainnya. Sampai kurang lebih tiga puluh menit menunggu, akhirnya bus rombongan nomor 3 bapak dan ibu saya datang. Bapak dan ibu saya naik mobil tersebut, pun dengan koper-koper yang telah turun dari mobil pick-up  kami masukkan kedalam bagasinya. Setelah berpamitan akhirnya Pakde pulang kerumah dengan mengendarai pick-up, sedangkan saya, kakak dan adik ipar saya ikut ke Bandara dengan mobil satunya lagi.Â