hujan disuarakan sebagai gejala alam berwujud pertikel cair yang jatuh dari kolong langit dengan jumlah jamak. Berhulu dari siklus air yang urut mulai dari penguapan air laut, menjadi gumpalan abstrak awan di kolong langit, tertiup hingga suatu kala menjadi awan mendung yang murung. Kadang saat terlampau jenuh dengan kandungan air yang dibawa, ia muntahkan berkah cair yang menjadi syarat mutlak apapun yang dilaluinya untuk hidup. Mengagumkan. Namun jika ia sedang hyper dan terlalu mengekspresikan ‘kegembiraannya’, semua yang dilaluinya juga akan hidup namun di alam lain. ‘’Ah, layaknya standar ganda, dua karunia ‘majestic’ dalam satu harga’’ Gumamku kemudian.
Bermodal sekelumit reka rupa terebut, ingatan membawaku berjalan menuju satu ingatan yang lain, satu ingatan tentang zat yang muncul saat hujan, yaitu zat yang bernama petrichor. Ia dikisahkann lahir dari sepasang reaksi kimia ketika hujan turun setelah musim kering yang berkepanjangan. Beberapa tanaman mengeluarkan semacam minyak selama periode kering. Ketika hujan, minyak dilepaskan ke udara. Senyawa aromatik ini kemudian menciptakan aroma petrichor yang berefek menyenangkan. Sehingga dapat ditebak muara reaksi tersebut, efek relaksasi yang menghipnotis. Menjadi sarana kawula muda yang demam artsy semi prematur merayakan hujan dalam berbagai sudut pandang, dan sebut saja salah satunya skena ‘mendramatisasi hujan’.
Dimulai kala tubuh sedang culas, kemudian hujan lihai menyelinap rapi dan mengorkestrasi secara apik, tanpa sadar tubuh ditenggelamkan oleh semacam ambience, selanjutnya pikiran akan dibawa menuju pertunjukan lebih indie, intim serta mendayu. Kadang terasa memaksa dan musykil untuk dilawan, menembus batas waktu dan menjadi tamu pada selaksa memori lampau. Ia kadang menghadirkan guratan kecut pertanda memorabilia yang harusnya dilupa, namun kadang ia menjadi bagian menyenangkan seperti akhir film film kolosal 90’an yang tiris, cekak, dan manis meski telah diisi soundtrack suram penuh hawa depresi milik Joy Division. Apapun itu, ia selayaknya permen karet yang menempel di alas kaki, rebel dan enggan untuk diberedel. “Menggelikan”.
lamunan yang tak terlampau penting tersebut mengokupasi ruang imaji secara sembrono ketika menunggu hujan yang tak kunjung reda di sudut tempat dalam satu perjalanan rutin yang cenderung menjemukan antara tempat asal dan tanah perantauan. Kadar level kejemuan melonjak menjadi kesialan ketika tempat teduh yang disinggahi adalah SPBU. Ada beberapa alasan mengapa spbu masuk dalam list pribadi tempat yang mengajak cepat menjadi tua, diantaranya karena rokok yang menjadi kunci pelarian sudah tentu akan sangat dilarang, pun dengan banyak orang tua dengan paksa berbatuk ria dengan sengaja akan menambah ukuran ketidakpatutan, tempat duduk yang bermasalah entah disengaja maupun tidak, dan sudah tentu toilet yang mengharuskan pikiran untuk lari pada kisah buruk menjurus saru tentangnya. Namun setidaknya tempat ibadah di SPBU selalu ramai, lebih ramai dari masjid di desaku.
Dan repertoar lagu dalam gawai adalah pelarian ampuh membunuh jenuh. Dirasa cukup matching dengan suasana ketika Legenda psychedelic blues, The Doors yang menakwilkan Rider On The Storm sebagai nomor yang kelam dan dipenuhi misteri tervisualkan para borju bertampang model top collectionsedang membeli bbm yang pastinya bersubsidi. Mereka enggan keluar dari mobil dengan tatapan khawatirnya, sejenak teringat tatapan Umma Thurman dalam film Pulp Fiction. Dingin menanti kesempatan untuk menyeringai. Mungkin mereka pembunuh bayaran yang sedang dalam liburan, rehat melunakkan otak yang telah terkoyak. “Anjing, aku terbawa arus lirik”.
Tak lama kemudian Aguas de Marco yang terdengar. Tercitra Antonia Carlos Jobim membuat nomor ciamik ini juga diiringi oleh gemercik air yang saling beradu dengan tanah. Petugas yang sedang mengisi bahan bakarpun menari samba dalam bayangku, pasti jiwa manusia setengah baya di sampingnya pasti sedang sakit karena hanya mematung tanpa ekspresi. Atau aku yang berdiri menempel pada tembok penyangga sebenarnya yang sedang sakit jiwa lantaran khayal liar yang terus mengular. Tapi yang pasti menikmati lagu ini pada pesta pantai akhir pekan terbungkus buaian bir niscaya menjadi perkimpoian yang patut diamini sekaligus diwaspadai, lissoi...!!!.
“Anjing...!!”
Umpatan kedua di tempat ini pun keluar, ringan seolah tanpa beban. Ia keluar spontan tanpa ragu menjawab apa yang ditangkap mata. Khayal egois ini remuk dengan sebab kedatangan satu keluarga kecil yang basah kuyup dengan tunggangan reot keluaran era orde baru, tersusun atas keluarga inti bahagia versi buku Pendidikan Kewarganegaraan masa SD yaitu Ayah, ibu dan 2 orang anak. Sudah tentu suatu perjalanan dengan waktu yang hanya bisa disamai oleh koar calon wakil rakyat ketika berkelakar, membosankan dan melelahkan. Semua itu tergambar dalam raut otot muka mereka yang terlihat tidak menonjol. Si bapak seperti sudah tak peduli dengan kondisi celananya yang berbahan drill koyak di berbagai tempat. Dan satu anaknya terlelap tidur meski air mengucur membasahi wajahnya. Terlampau kontras dengan apa yang mengalun di ruang dengar, lagu yang mengejawantahkan kesenangan dan perayaan hidup yang apapun itu dibutuhkan satu pemandangan minimal tanpa membuat hati menjadi biru sendu.
Sempat memaafkan diri sendiri jikalau rasa yang trenyuh yang kemudian bergelayutan, namun satu rupa yang telah senja di pojok bangunan telah mengingatkan pada sosok seorang pencipta puisi membuatku antusias mendengar satu musikalisasi puisi Ari Redha yang diilhami oleh nukilan Sapardi Djoko Darmono dalam sudut koran sore yang mungkin pas atau setidaknya dipaksa untuk menjadi pas dengan adegan keluarga itu.
“Aku ingin mencintaimu, dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu,