Terbuai nestapa tersapu derita. Teringat akan luka dalam yang pernah kutorehkan di hati seseorang. Semakin aku menyadari filosofi ini, semakin aku tersadar akan kesalahanku selama ini. Ingin hati bertekad untuk belajar lebih banyak untuk memperbaiki keadaan seperti semula lagi. Termenung dalam setiap kesalahan atas kesombonganku selama ini. Entah mengapa perasaan bersalah ini kembali menghinggapi dan menyiksa diri. ‘Kenapa selama ini aku baru tersadar akan filosofi ini?’ kutarik nafas sedalam lautan yang ada di hadapan mata dan terbesit di otak ini, aku ingin seperti Serigala.
Iya Serigala. Binatang ini terkenal buas dalam menyantap mangsa dan mencabik-cabiknya. Sebagai seorang pria, aku ingin mampu berburu seandal Serigala. Tapi, bukan itu yang kumaksudkan dan bukan itu yang ku mau. Serigala faktanya selalu berburu berdua bersama pasangannya. Ia tidak pernah meninggalkan pasangannya dalam mencari mangsa dalam rangka melanjutkan kehidupan rimba. Semakin hancurlah kearogansian makhluk sempurna dengan kehadiran Serigala. Tersirat ia mengajarkan kesempurnaan lahir atas dasar kebersamaan. Ya, bersama dalam suka dan duka, begitulah. Serigala tau cara bersyukur kepada Tuhan dengan menunjukkannya dalam kebersamaan abadi. Menarik sekali karena berburu dengan pasangan, Serigala tidak pernah lupa akan anaknya. Mereka berburu untuk hidup dan anaknya. Memuntahkan kembali apa yang ia santap, untuk anaknya. Mungkin manusia harus belajar banyak dari kerendahan hati seekor Serigala. Aku hanya bisa menundukkan kepala dan menggelengkannya karena selama ini kehidupan dunia membutakan manusia atas kebersamaan dan terutama, keluarga. Cinta Serigala akan pasangan dan keluarganya terbukti sebagai bukti Tuhan Yang Maha Memberi Bukti bahwa terlalu banyak manusia kurang berhati. Sekarang, tanyalah pada dirimu sendiri! Pantaskah kita menyombongkan diri dengan kesempurnaan ketika kehidupan fana dunia mampu membutakan kesempurnaan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan harus saling mencinta?
Ingin aku melanjutkan keingintahuanku atas filosofi tersirat di balik misteri penciptaan setiap makhluk di dunia ini. Setiap sesuatu memiliki batasan dan yang dilakukan dengan ketergesa-gesaan akan berakhir dengan penyesalan. Aku mencukupkan untuk hari itu, tatkala temanku berseru “ Waktunya kita pulang, Nif… “.
Aku bersyukur pada Tuhan karena kesempurnaan yang Tuhan berikan mengandung banyak kecacatan yang perlu perbaikan. Seyogyanya kita sebagai manusia belajar banyak dari hewan, bukan meniru kelakuan hewan. Setiap sesuatu itu mengandung hikmah yang perlu digali agar kita selalu sadar akan kerendahan dan persamaan kita terhadap manusia lain. Hiduplah dengan kerendahan hati, kebersamaan namun bertekad baja bagaikan Semut. Setialah terhadap pasangan layaknya Merpati. Lahirkanlah kesempurnaan dari ketidaksempurnaan bagaikan Bangkai Hitam. Tunjukanlah cinta sejati kita kepada manusia seperti Angsa. Abadikan setiap momen yang telah berlalu agar selalu merendah hati ini umpama seekor Gajah. Jadilah tegas dan penyayang keluarga seolah engkau adalah Serigala. Namun, jangan pernah lupa kita ini manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H