Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Palu Thor

3 November 2021   11:37 Diperbarui: 3 November 2021   11:50 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini saya akan bercerita singkat tentang salah satu karakter dari film Avenger, Thor sang dewa petir. Sosok Thor identik dengan senjatanya yang berupa palu atau yang dikenal dengan nama Mjolnir. Senjata Mjolnir ini punya kekuatan magis untuk mengendalikan petir dan bisa membantu Thor untuk terbang yang kita lihat sendiri merupakan sceneĀ yang menarik untuk ditonton.

Namun berbeda dengan banyaknya senjata yang dimiliki oleh superhero lainnya, Mjolnir ini memiliki hubungan yang unik dengan pemiliknya. Hanya seseorang yang "pantas" yang dapat menggunakan Mjolnir. Bagi mereka yang tidak pantas, jangankan menggunakannya, mengangkatnya pun tidak akan bisa. Sosok Thor sendiri punya kedekatan emosional yang kuat dengan senjatanya itu sehingga ketika Mjolnir harus hancur di tangan Hela, membuat sosok Thor sangat putus asa.

Saya ambil cerita diatas karena sesungguhnya masing-masing dari kita memiliki Mjolnir sendiri. Mjolnir itu diwujudkan bukan dalam bentuk palu sakti yang bisa terbang dan memanggil petir, namun berbentuk impian dan cita-cita. Kalau kita berefleksi lebih dalam, apa yang membuat kita hidup dan membuat kita bersemangat dalam menjalani hari adalah karena kita punya impian dan harapan. Harapan itulah yang membuat kita Ā memiliki sumber kekuatan menjalani hidup ini yang kian hari kok rasanya semakin berat saja.

Di sisi lain, harapan itu justru bisa mematikan. Sangat mematikan malah, apabila kita tidak bisa mengendalikan apa yang kita inginkan. Kehidupan yang semakin cepat, disadari atau tidak, membuat kita semakin menginginkan banyak hal. Ingat waktu kita kecil dulu? cita-cita hanyalah sesederhana menjadi pilot, atau dokter, atau polisi, atau guru. Semkain bertambah usia ini apa yang kita inginkan semakin kompleks. Tidak cukup punya pekerjaan yang mapan, harus juga punya passive incomeĀ dari saham atau reksadana. Tidak cukup selesai pendidikan sarjana, harus juga lanjut master atau doktoral. Berlimpahkan harta terasa biasa saja, kalau tidak punya pengaruh atau followerĀ yang banyak. Semakin rumit hidup kita dibuat oleh cita-cita yang beranak-pinak. Pada akhirnya, Mjolnir ini semakin berat dan kita pun dibuat semakin merasa tidak pantas.

Saya bukanlah pakar dalam hal kehidupan. Saya pun masih struggleĀ dengan pergolakan batin yang tidak pernah selesai soal bagaimana memperoleh apa yang telah dicita-citakan. Ingin saya menyalahkan para motivator yang dulu sekali memberikan semangat bahwa dunia ini luas dan penuh kesempatan. "Bermimpilah setinggi mungkin, maka jika jatuh kamu akan tetap melihat bintang" adalah quoteĀ yang perlu sekali dihilangkan dalam dunia per-motivator-an. Ā Yang tidak pernah mereka ajarkan adalah bagaimana memilah, memilih, dan mengelola impian dan fokus terhadap apa yang perlu dikerjakan.

Semakin kita menua semakin kita sadar bahwa hidup ini pun banyak keterbatasan. Jangankan soal hidup, diri kita pun punya keterbatasan. Tidak semua orang dilahirkan dengan kejeniusan diatas rata-rata, keberlimpahan harta yang banyak, atau lingkungan keluarga yang penuh previlage. Kebanyakan dari kita harus kerja banting tulang bahkan hanya untuk membayar tagihan akhir bulan. Sekeras apapun kita berusaha, akhirnya akan tetap berujung menjadi medioker.

And you know what, that's happen and that's fine. It is fine to beĀ biasa-biasa saja.

Dari usia yang masih kepala tiga ini saya semakin banyak belajar dari pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain. Memiliki keinginan sangatlah menyenangkan selama keinginan itu tidak memilikimu. Sudah saatnya kita pintar memilah, ketika suatu keinginan datang apakah itu murni keinginanmu? Atau keinginan orang tuamu? Atau keinginan bosmu? Atau keinginan siapa?

Being overwhelmed by dreams only makes you feel unworthy, and your Mjolnir will not lifted up for you.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun