Sudah hampir setahun sebelum akhirnya palu itu diketok BPS, minus dua persen. Begitulah akhir perjalanan ekonomi Indonesia di tahun pandemi kemarin, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang harus lebih rendah dua persen dibandingkan tahun sebelumnya.Â
Belum selesai rasa kaget, hasil lainnya juga sudah diketok, tingkat kemiskinan yang mencapai 10,19%. Sudah tidak lagi satu digit, seperti yang pernah kita bangga-banggakan kemarin. Mereka yang optimis bersyukur, karena merasa lebih baik dibandingkan negara peers. Yang pesimis mencibir, karena berharap hasil yang lebih.
Semua sudah dikerjakan, paling tidak dari semua yang bisa dipikirkan. Subsidi sudah diberikan, Bansos sudah disalurkan, pajak sudah dipotong, suku bunga sudah diturunkan. Tapi itulah realita, pertandingan sudah berakhir, dan hasilnya sudah final. Faktanya, mobilitas berbanding lurus dengan perekonomian. Perekonomian Indonesia yang berbasis sektor rill ini masih harus ditopang interaksi fisik agar bisa berjalan. Jika mobilitas dihambat, perdagangan macet, volume jual -- beli berkurang, uang yang berputar pun menurun. Begitulah mungkin gambaran sederhananya.
Justru yang lebih penting, sekarang kita mau ke mana? Oh iya, kita sudah ada vaksin. Kalau di film Avenger, vaksin ini bak seorang pahlawan yang diharapkan membasmi virus, ibarat Thor yang datang ke Wakanda dan menghajar habis pasukan Thanos. Tapi apakah bisa semudah itu vaksin menjadi game changer di tahun ini?
Bisa iya, bisa tidak. Tapi yang jelas, dengan atau tanpa vaksin, semuanya akan berubah, suka tidak suka.
***
Ketimbang sibuk saling menyalahkan atau membenarkan, saya lebih tertarik menanti siapa yang akan menjadi pemenang setelah pandemi ini usai. Kita semua mengakui, Indonesia pontang-panting selama tahun 2020 kemarin. Permintaan domestik merosot hingga -3,7%, belum lagi permintaan eksternal yang juga turun -7,7% sebab semua negara turut kena imbasnya. Kita menjadi saksi PHK masal yang dilakukan banyak dunia usaha agar bisa survive, di tengah omzet yang menurun tajam. Belum lagi sektor pariwisata yang upaya pemulihannya dianggap serba salah, karena wisata masih membutuhkan interaksi fisik.
Beberapa minggu belakangan ini saya berkesempatan berbincang dengan beberapa pelaku usaha, yang kebanyakan dari perusahaan menengah atas. Semua mengatakan hal yang sama: Efisiensi. Ketidakpastian pemulihan pandemi membuat banyak pelaku usaha ambil jalan pintas dengan menurunkan biaya operasional. Tenaga kerja dirumahkan, inventori diminimalkan, birokrasi dipangkas, proses bisnis dirubah agar bisa lebih cepat, lebih produktif, dengan resource yang terbatas.
Dan satu lagi, jangan lupakan proses digitalisasi yang marak di tahun kemarin. Semua sekarang bisa (atau dipaksa) dilakukan secara digital. Yang tua maupun yang muda, yang gaptek atau yang intelek, yang swasta maupun yang negeri, beralih menuju digital dalam kurun waktu beberapa bulan.
Saya berpandang, masa pandemi ini adalah momentum reformasi. Reformasi yang struktural oleh pelaku bisnis agar ketika dunia ini kembali pulih, mereka bisa melaju lebih cepat dengan sumber daya yang dimiliki. Idealnya, ketika permintaan sudah kembali normal, pelaku usaha dapat berproduksi dengan resource yang lebih efisien dibandingkan dengan kondisi pra-covid. Tingkat produktivitas pun meningkat, sehingga dengan penambahan input (katakanlah tenaga kerja) maka output yang dihasilkan dapat lebih banyak lagi, mendukung Indonesia menjadi negara yang lebih produktif.
Namun sekali lagi, itu adalah kondisi yang ideal. Mungkin ada pelaku usaha yang melakukan reformasi, namun boleh jadi banyak yang tidak melakukan apa-apa. Mereka yang terjebak dalam status quo, pasrah menanti berakhirnya pandemi tanpa melakukan apapun, harus bersiap untuk terlibas dalam perubahan struktur ekonomi ke depan nantinya.