Mohon tunggu...
Pratama
Pratama Mohon Tunggu... Bankir - Economist

I'm just observing

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merajut Nusantara di Usia 75

15 Agustus 2020   12:55 Diperbarui: 15 Agustus 2020   12:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kita tengah memasuki tahun kedua puluh di abad 21, yang menurut Fujiko F. Fujio, kreator komik Doremon, diimajinasikan sebagai dunia masa depan dengan berbagai alat canggih didalamnya. Salah salah penemuan unik yang diceritakan Fujiko adalah mesin waktu, dimana manusia dapat bepergian dari satu titik masa ke masa yang lain, maju ataupun mundur. 

Realita berbicara, memang saat ini mesin waktu belum ditemukan. Atau mungkin tidak akan pernah bisa diciptakan. Namun yang menarik adalah pernah ada satu anekdot dari majalah Economist, dimana kalau ingin melihat mesin waktu maka terbang lah ke Indonesia. Mengapa?

Jikalau ada kesempatan, cobalah ambil waktu hari libur untuk bepergian ke kawasan Indonesia timur. Kita ambil contoh ke Pulau Sumbawa misalnya, disisi timur Nusa Tenggara Barat. Terbang dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, kita masih dapat melihat sisi modern kehidupan Indonesia ditengah menjulangnya gedung-gedung ibukota. 

Setelah kurang lebih tiga jam saja penerbangan, saat kaki melangkah turun keluar sepuluh menit dari bandara Sultan Mahmud Kaharuddin, pemandangan  yang terlihat tentu sangatlah berbeda. 

Gedung pencakar langit sudah hilang, berubah menjadi tambak garam. Jalan toll hotmix enam ruas menyusut menjadi jalan berbatu dua ruas. Kehidupan modern masyarakat ibukota berganti dengan kesederhanaan penduduk desa.

Cerita diatas terjadi hanya dalam tiga jam penerbangan. Bayangkan jika pesawat masih melaju hingga 5 jam lamanya sampai ke pelosok Papua sana. Betapa lebar kesenjangan yang akan disuguhkan. Mungkin itu yang disebut mesin waktu ala Indonesia, yang hanya bisa bergerak mundur ke masa lampau.

Kesenjangan, entah itu sosial atau ekonomi, selalu menjadi atensi dalam agenda pembangunan negara. Presiden Soekarno pernah menggagas ibukota Indonesia dipindah ke Palangkaraya agar episentrum pembangunan, secara geografis, terletak di tengah Indonesia. Salah satu program pemerataan yang cukup dikenal saat itu adalah program transmigrasi, dengan target memindahkan 49 juta penduduk keluar Jawa, meski hanya terealisasi sebanyak 174 ribu orang saja.

Tahun berganti, kepemimpinan nasional beralih, ditemani oleh beragam gejolak politik dan ekonomi bersamanya. Berbagai presiden telah mengeluarkan berbagai program untuk mengurangi kesenjangan masyarakat, seperti penerapan otonomi daerah, penyaluran dana desa, hingga yang paling terkini adalah pemerataan pembangunan infrastruktur, toll laut, dan BBM satu harga. Mengapa pemerataan pembangunan begitu penting dilakukan? dan bagaimana cara terbaiknya?

Pentingnya Integrasi

Salah satu teori pertumbuhan ekonomi yang terkenal adalah teori Malthusian. Thomas Malthus melalui model persamaan ekonominya memasukkan unsur "Land" atau luas daratan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya skala ekonomi suatu negara. Teori tersebut mungkin dapat menjelaskan mengapa 11 dari 15 negara dengan luas daratan terbesar di dunia merupakan negara yang tergabung dalam kelompok G20, atau kelompok 20 negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar.

Indonesia termasuk kedalamnya, baik untuk negara besar dalam skala geografis maupun ekonomi. Namun yang menjadikannya unik adalah, Indonesia menjadi satu-satunya negara dalam kategori tersebut yang merupakan negara kepulauan. Apakah ini menjadi masalah? Bisa iya bisa tidak, karena kondisi geografis  Indonesia memberikan tantangan tersendiri untuk pembangunan kedepan.

Jika kita berkaca pada Amerika misalnya, negara dengan PDB terbesar di dunia, merupakan negara yang diuntungkan karena merupakan negara dengan satu daratan yang luas. Saat melaksanakan studi disana, saya berkesempatan untuk berkendara menjelajah beberapa sudut wilayah paman sam, mulai dari timur New York ke barat California, dari utara Wisconsin hingga ke selatan Florida. 

Standar hidup masyarakat di berbagai tempat relatif sama. Ditambah lagi setiap sudut negara ini terhubung dengan baik, entah itu melalui rel kereta atau jalur interstate, yakni jalur layaknya jalan toll di Indonesia namun bebas biaya.

Pembangunan jalur interstate di Amerika oleh Presiden Eisenhower dimulai pada tahun 1956. Proyek tersebut dikenal sebagai salah satu mega proyek terbesar di dunia karena menghubungkan seluruh negara bagian melalui empat hingga enam ruas jalur bebas hambatan. 

Proyek pembangunan jalan sepanjang 65 ribu kilometer tersebut selesai 40 tahun kemudian, dan menjadikannya tulang punggung pemerataan pembangunan di Amerika Serikat.

Hasil dari pembangunan tersebut dapat dilihat saat ini. Lima negara bagian (provinsi) di Amerika Serikat dengan skala ekonomi (PDB) terbesar, yaitu California, New York, Texas, Florida, dan Illinois tersebar merata di seluruh wilayah negara. 

Pemerataan tersebut membuat Amerika dapat mengoptimalkan luas lahan yang dimiliki untuk menjadikannya sumber pertumbuhan ekonomi. Bandingkan dengan Indonesia, yang hampir 60% ekonominya terkonsentrasi di Pulau Jawa, 20% terdapat di Sumatera, dan sisanya tercecer di Kalimantan, Sulawesi, Papua, hingga kepulauan Maluku, Bali dan Nusa Tenggara.

Sekali lagi, Amerika diuntungkan karena merupakan negara satu daratan, sehingga terlalu naif jika langsung dibandingkan dengan Indonesia yang tersusun dari 17 ribu pulau. 

Yang perlu digarisbawahi dari analisa diatas adalah betapa pentingnya integrasi lintas wilayah untuk membesarkan perekonomian suatu negara, sebagaimana pembuluh darah yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh sehingga semua organ dapat bekerja dengan baik.

Merajut Nusantara

Jika diibaratkan, Indonesia bak potongan kain-kain besar dan kecil yang bertebaran dari sabang ke merauke, dari miangas hingga pulau rote. Kain -- kain tersebut belum sepenuhnya terajut dengan baik, terhalang oleh besar dan kompleksnya kondisi geografis negara ini. 

Pemikiran itu yang bisa jadi mendasari mengapa Presiden Joko Widodo bersikukuh untuk membangun infrastruktur secara merata, baik di darat, laut, maupun udara, di seluruh pelosok tanah air. Pemerataan infrastruktur dasar diharapkan dapat mendistribusikan "kekayaan" Indonesia yang terpusat di Jawa ke berbagai penjuru daerah.

Tantangan yang dihadapi untuk mendistribusikan kekayaan tersebut lebih kompleks dilakukan di negara kepulauan seperti Indonesia, dibandingkan negara yang berada dalam satu daratan yang sama. 

Oleh sebab itu beberapa tahun silam pemerintah menggagas program toll laut dengan mengoperasikan kapal-kapal berukuran raksasa yang membawa barang logistik, untuk kemudian dipindahkan ke kapal-kapal yang lebih kecil sehingga dapat menjangkau daerah terluar di Indonesia. 

Harapan besar yang dibawa oleh program toll laut ini adalah berkurangnya disparitas harga barang di daerah terpencil, sehingga perekonomian disana dapat lebih efisien.

Melihat konsep diatas, kendala program toll laut sudah dapat diprediksi sejak awal, yaitu inefisiensi. Kapal di jalur toll laut terpaksa harus diberikan subsidi transportasi agar harga barang yang diangkut ke wilayah terpencil dapat dijaga rendah. 

Lebih jauh, beban subsidi akan lebih besar karena kapal tersebut, besar kemungkinan, akan kembali ke Jawa dengan muatan yang kosong karena tidak ada cukup banyak barang yang diangkut untuk dapat dijual kembali. 

Dalam jangka pendek pemberian subsidi ini dibutuhkan agar program dapat berjalan. Namun jika terus dibiarkan, dalam jangka panjang nilai subsidi toll laut yang mencapai Rp350 milliar per tahun tersebut dapat terus bertambah. Ide besar untuk menciptakan efisiensi dari toll laut dapat berbalik arah menggerus keuangan negara.

Indonesia adalah negara yang luar biasa besar. Karenanya untuk meratakan pembangunan nasional perlu diciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang merata secara geografis, tanpa harus menunggu "trickle-down effect" yang bersumber dari Jawa. 

Langkah yang paling tepat adalah dengan melakukan industrialisasi pada komoditas sumber daya alam yang selama ini banyak diekspor mentah. Indonesia tengah menghadapi tantangan deindustrialisasi dimana pangsa sektor industri terhadap perekonomian nasional terus menurun, dari 26% di tahun 2000 menjadi 20% di tahun 2019. Industrialisasi komoditas mentah dapat menjadi angin segar untuk menjawab permasalahan tersebut.

Hal lain yang membuat program industrialisasi komoditas mentah menjadi ideal adalah karena adanya kecocokan antara supply dan demand. Dari sisi supply, kekayaan alam di Indonesia tersebar di seluruh penjuru nusantara, baik yang dibawah maupun diatas tanah. Pulau sumatera masih berlimpah akan kandungan timah, karet, maupun minyak kelapa sawit yang merajai pasar dunia. 

Sementara di Kalimantan, selain kaya akan hasil hutan, dilimpahi dengan kandungan minyak dan batu bara sebagai sumber energi. Sulawesi pun demikian, yang bertaburan kandungan bijih nikel atau hasil kebun kakao dan sektor pertanian lainnya. Dan tidak perlu diragukan lagi, Papua di ujung timur Indonesia, adalah raksasa tambang emas dan tembaga yang selama ini masih terjual mentah.

Tidak berhenti sampai disitu, kekayaan alam Indonesia masih dapat ditemui hingga ke dasar lautan. Potensi perikanan tangkap di Indonesia tersebar merata di seluruh wilayah perairan dengan estimasi mencapai lebih dari 6,2 juta ton per tahun. Kemaritiman Indonesia juga menjadikannya berkah sebagai destinasi wisata berkelas dunia yang mendatangkan Rp280 triliun devisa turis per tahunnya.

Sementara dari sisi demand, peluang hasil olahan industri untuk diserap oleh pasar dalam negeri masih sangat luas. Lebih dari 90% produk impor non-migas Indonesia merupakan produk olahan industri, dimana lebih dari 50% nya merupakan produk yang sangat mungkin dapat diproduksi sendiri seperti  produk elektronik, logam, plastik, tekstil, hingga makanan olahan. 

Dalam jangka panjang program industrialisasi komoditas mentah dapat membantu menurunkan defisit transaksi berjalan Indonesia yang saat ini mencapai 2,7% dari PDB.

Dukungan ASN Unggulan

Sejenak kembali ke lima tahun silam, saat saya pertama kali ditugaskan di wilayah Indonesia timur. Kesempatan itu begitu berharga karena saya dapat merasakan sendiri bagaimana kekayaan Indonesia belum sepenuhnya terjamah untuk memberikan kesempatan hidup yang layak bagi seluruh penduduknya. 

Berbicara mengenai industrialisasi bisa jadi terlalu besar untuk diwujudkan dalam waktu singkat, sementara agenda pembangunan diluar sana tidak bisa menunggu. Selain melimpahnya kekayaan alam, saya mengamati bahwa modal utama pembangunan daerah lebih terletak pada kualitas sumber daya manusianya, yang dalam hal ini adalah aparatur sipil negara (ASN).

Kualitas SDM menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dalam agenda pembangunan karena ditangan merekalah langkah konkret program dilakukan. Peran ASN menjadi sentral sebagai agen penggerak pembangunan sebagaimana peran mereka sebagai abdi negara. 

Sekali lagi realita berbicara, tidak semua ASN memiliki sense of urgency yang sama dalam merespon program pembangunan tersebut. Kondisi tersebut membuat program yang sama memberikan output yang berbeda di berbagai wilayah.

Agenda pembangunan kedepan membutuhkan semangat yang tinggi dan ide-ide segar yang tidak biasa. Sementara itu, rutinitas pekerjaan yang itu-itu saja menjadi musuh besar kreatifitas, sehingga membuat cara bekerja menjadi linear dan monoton. 

Bentangan kain nusantara hanya akan terajut dengan baik jika dilakukan secara simultan oleh perajut-perajut terbaik yang dari seluruh penjuru negeri. Lantas bagaimana caranya?

Pemerintah dapat mengadopsi sistem konsep rekutmen pegawai management trainee, yang lazim diterapkan oleh perusahaan swasta maupun BUMN. Dalam sistem tersebut, perusahaan merekrut para lulusan perguruan tinggi dengan kualifikasi yang tinggi, dibina, dan ditugaskan ke berbagai cabang atau anak perusahaannya di daerah. 

Dengan ide yang sama Kementerian PAN-RB dapat merubah sistem rekrutmen ASN menjadi lebih dinamis untuk meningkatkan kualitas layanan birokrasi di tingkat daerah.

Hampir setiap tahun pemerintah membuka lowongan pekerjaan untuk 30 ribu calon ASN. Jika sistem tersebut bisa dirubah, cukup rekrut setengah dari kuota yang tersedia, terapkan syarat kualifikasi yang ketat, tawarkan gaji, tunjangan dan kepangkatan lebih tinggi pada umumnya, namun harus bersedia ditugaskan diluar pulau Jawa dalam jangka waktu beberapa tahun. Penerapan sistem tersebut dilakukan setiap dua tahun sekali, sehingga dapat berselang dengan sistem rekrutmen konvensional yang selama ini sudah berjalan.

Lebih lanjut, rekrutmen "ASN unggulan" difokuskan pada tenaga di sektor pendidikan, kesehatan, dan pelayanan birokrasi untuk dinas atau lembaga teknis terkait. 

Hal ini guna memberikan pemerataan kesempatan hidup layak bagi masyarakat Indonesia di daerah terpecil, terhadap akses pendidikan, layanan kesehatan, serta ketersediaan lapangan kerja. 

Tentu jika sistem ini diterapkan akan banyak resistensi yang muncul karena ini adalah hal baru yang mendobrak tradisi lama. Namun percayalah, tidak ada perubahan yang tidak menuai penolakan. 

Dinamika yang akan terjadi saya rasa baik untuk membuat organisasi pemerintah tidak lesu dan stagnan, sehingga gebrakan-gebrakan baru dapat dilahirkan.

Menuju Indonesia Emas

Saat ini Indonesia telah masuk kedalam kategori negara upper middle income dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.050. Namun perlu diingat untuk menjadi negara dengan pendapatan tinggi, GNI per kapita Indonesia masih harus ditingkatkan sebanyak tiga kali lipat sehingga pekerjaan rumah kita masih jauh dari kata usai. 

Oleh karenanya, ketika sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru sudah muncul di berbagai belahan tanah air, ditopang oleh ketersediaan sumber daya manusia yang handal hingga pelosok daerah, maka mesin ekonomi Indonesia dapat berlari lebih kencang untuk mengejar ketertinggalan.

Tidak lama lagi usia kemerdekaan Indonesia akan memasuki tahun ke 75. Sudah tiga perempat abad bangsa ini berdaulat dan dapat menentukan sendiri mau dibawa kemana kapal besar ini berlabuh. 

Saat saya aktif di kegiatan mahasiswa dulu, kami telah ditanamkan akan mimpi besar Indonesia saat berusia 100 tahun, saat memasuki usia emasnya. Impian tersebut masih ada hingga saat ini, dan tidak sedikitpun kehilangan asa untuk mewujudkannya.

Tidak terasa, 100 tahun Indonesia hanya tinggal seperempat abad lagi. Saat itu tiba, semoga mata ini menjadi saksi kejayaan ibu pertiwi di puncak dunia.

Dirgahayu, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun