Dalam momentum buka puasa bersama HMI Jakarta Raya mengadakan bedah buku Menuju Indonesia Emas bersama Pakar Ekonomi Politik Indonesia, Faisal Basri. Ketua Umum HMI Jakarta Raya menyatakan, Indonesia saat ini sedang di persimpangan sejarah, karena posisinya sebagai bangsa baik secara nasional maupun global sedang rapuh.
Hal ini akibat terjadinya krisis kepemimpinan; terkuaknya skandal perpajakan, terperangkapnya Indonesia dalam skema jebakan hutang proyek kereta cepat jakarta bandung, kegagalan food estate dan sederet permasalahan tata kelola pemerintahan lainnya. “Ini menjelaskan betapa rapuhnya posisi kita secara nasional dan sebagai bangsa, karena kita tidak mempunyai peta jalan yang jelas. Inilah yang saya maksud Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Apa saja jalan di masa lalu yang telah kita lalui, dan kemana kita berjalan di masa akan datang. Itulah peta jalan yang harus kita rumuskan bersama,” ujar Hanifiansyah Nugroho
Seperempat abad lagi Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaan. Tiga perempat perjalanan berliku-liku telah kita lalui, diwarnai oleh beberapa kali kemunduran dan sempat pula terjerembab ke dalam jurang krisis kecil, medium maupun besar. Indonesia butuh waktu 58 tahun untuk keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah (low income country). Baru pada tahun 2003 Indonesia naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income). Negara-negara tetangga yang memulai pembangunannya setelah meraih kemerdekaan yang hampir bersamaan dengan Indonesia banyak yang lebih dulu melesat.
Korea Selatan dan Singapura sudah meraih status negara berpendapatan tinggi (high income). Sementara itu, Malaysia telah masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle income), sedangkan Thailand dan Filipina mendahului Indonesia keluar dari kelompok negara berpendapatan rendah.
Berulang kali kita menyia-nyiakan momentum emas. Sejarah selalu saja berulang. Kemelut dan krisis politik membuat gerak pembangunan sempat terhenti atau mundur. Cita-cita kemerdekaan untuk lepas dari belenggu kolonialisme dan penindasan agar demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat tertegakkan bermuara pada kehadiran rezim otoritarianisme atau kediktatoran.
Tantangan kita seperempat abad ke hadapan adalah memperkokoh institusi politik dan institusi ekonomi agar tidak lagi zig zag atau terhindar dari krisis parah, sehingga dalam perjalanan menuju 2045 terhindar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) apalagi negara rentan (fragile state) atau negara gagal (failed state).
Buku ini menarik untuk dikaji karena membahas sejarah perjalanan ekonomi Indonesia sejak merdeka hingga sekarang sebagai bahan pembelajaran berharga untuk meniti perjalanan ke depan. Dari sini penulis buku mengidentifikasi faktor-faktor utama yang menghadang gerak maju dan bagaimana mengatasinya. Yang tak kalah penting ialah bagaimana mendayagunakan potensi bangsa yang tergolong “luar biasa” sebagai negara maritim dengan lapisan tebal penduduk usia produktif serta karunia kekayaan alam yang relatif sangat memadai dan beragam.
Sejauh ini potensi kita terlalu besar, tetapi pencapaian kita terlalu kecil. Ini yang sering saya sebut, langit kita terlalu tinggi, tapi kita terbang terlalu rendah,” ujar Hanifiansyah Nugroho
Tulang punggung untuk menghimpun potensi yang masih berserakan ini adalah Generasi Emas yang niscaya mumpuni mengahadapi segala tantangan di era Revolusi Industri IV dan V nantinya sekalipun.
Diharapkan dari kajian terhadap buku ini, akan menjadi energi perubahan yang positif bagi pelaku dan perawi sejarah masa depan Indonesia. Yakni satu cita-cita sosial, politik dan peradaban baru yang sama, dan menjadi pemantik kesadaran untuk mengubah mentalitas pemuda menjadi mentalitas pemenang dan pelaku sejarah peradaban baru mewujudkan Negara Kesejahteraan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H