Perkembangan teknologi semakin kini semakin pesat, dahulu seseorang berbicara dan tertawa di kamar kos saja dianggap gila –sekitar tahun 80-90 an.
Setidaknya itulah yang dikatakan oleh salah seorang dosen saya ketika kuliah Konsep Keteknikan untuk Peradaban di salah satu perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Namun, saat ini hal tersebut merupakan hal yang lumrah dan biasa dengan adanya teknologi telepon genggam.
Perkembangan teknologi memang selalu menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Namun, ada satu hal yang menjadi perhatian lebih bagi saya, yaitu revolusi hijau. Jika mengingat kembali tentang sejarah terjadinya konsep revolusi hijau, maka tidak lepas dari peran serta revolusi industri.Â
Revolusi hijau tercetus karena keprihatinan Thomas Robert Malthus terhadap berkurangnya lahan pertanian yang digunakan sebagai pabrik dan pemukiman, sedangkan pertumbuhan penduduk serta kebutuhan terhadap pangan meningkatkan secara eksponensial.Â
Hal ini tidak sebanding dengan kurva ketersediaan pangan yang linier. Oleh karena itu, tercetuslah konsepsi revolusi hijau dengan pengembangan teknologi budidaya pertanian sebagai solusi terhadap kebutuhan pangan yang terus meningkat.
Lalu, sudah sampai di manakah revolusi hijau saat ini? Ketika saya melihat teknologi saat ini dan iseng membandingkannya dengan pertanian saat ini, terlihat bahwa terdapat ketimpangan yang cukup memprihatinkan.
Bahwasannya, pertanian masih stagnan dengan pengembangan yang itu-itu saja, sedangkan revolusi industri sudah memasuki generasi empat –era IoT (Internet of Things) dan big data.Â
Memang, terdapat beberapa inovasi di bidang pertanian, namun hal itu berupa inovasi-inovasi minor jika dibandingkan dengan inovasi di bidang industri yang bergerak dengan begitu pesat.Â
Jika mau merujuk kembali ke sejarah tercetusnya revolusi hijau, semestinya revolusi hijau dan revolusi industri berkembang secara bersamaan dan saling berkesinambungan, misalnya dengan pengembangan teknologi pertanian berbasis IoT: sistem kontrol dalam pengendalian hama dan pengairan, otomasi pemberian pupuk dan pestisida, serta berbagai pengembangan teknologi pertanian lainnya.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus umat manusia dalam memikirkan kelangsungan hidupnya, tentu manusia tidak akan memakan telepon genggamnya, kan? Hehe.
Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam Studium Generale di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta menyampaikan bahwa revolusi industri generasi keempat telah menanggalkan asas humaniter dari tujuan awal adanya revolusi industri, yaitu mewujudkan kesejahteraan manusia.Â
Namun, kini justru banyak permasalahan yang diakibatkan oleh cepatnya perkembangan teknologi, culture shock dan culture lag hanya menjadi bagian kecil dari sekian banyak ketidaksiapan manusia sebagai pencipta teknologi dalam menghadapi teknologi yang telah ia ciptakan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!