Mohon tunggu...
Hanif Bayu
Hanif Bayu Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa paruh waktu, pembelajar penuh waktu.

Hanif Bayu Ismail, lahir di Yogyakarta tahun 1999. Saat ini aktif menjabat sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Al-Khawarizmi UGM dan Sekretaris Jendral Lembaga Penelitian dan Kajian Teknik Aplikatif (LPKTA) - FT UGM.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Revolusi Industri Vs Revolusi Hijau: Merajut Asa di Tengah Ancaman Kelaparan

10 Februari 2020   15:00 Diperbarui: 11 Februari 2020   11:46 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi semakin kini semakin pesat, dahulu seseorang berbicara dan tertawa di kamar kos saja dianggap gila –sekitar tahun 80-90 an.

Setidaknya itulah yang dikatakan oleh salah seorang dosen saya ketika kuliah Konsep Keteknikan untuk Peradaban di salah satu perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Namun, saat ini hal tersebut merupakan hal yang lumrah dan biasa dengan adanya teknologi telepon genggam.

Perkembangan teknologi memang selalu menarik untuk dibahas dan didiskusikan. Namun, ada satu hal yang menjadi perhatian lebih bagi saya, yaitu revolusi hijau. Jika mengingat kembali tentang sejarah terjadinya konsep revolusi hijau, maka tidak lepas dari peran serta revolusi industri. 

Revolusi hijau tercetus karena keprihatinan Thomas Robert Malthus terhadap berkurangnya lahan pertanian yang digunakan sebagai pabrik dan pemukiman, sedangkan pertumbuhan penduduk serta kebutuhan terhadap pangan meningkatkan secara eksponensial. 

Hal ini tidak sebanding dengan kurva ketersediaan pangan yang linier. Oleh karena itu, tercetuslah konsepsi revolusi hijau dengan pengembangan teknologi budidaya pertanian sebagai solusi terhadap kebutuhan pangan yang terus meningkat.

Lalu, sudah sampai di manakah revolusi hijau saat ini? Ketika saya melihat teknologi saat ini dan iseng membandingkannya dengan pertanian saat ini, terlihat bahwa terdapat ketimpangan yang cukup memprihatinkan.

Bahwasannya, pertanian masih stagnan dengan pengembangan yang itu-itu saja, sedangkan revolusi industri sudah memasuki generasi empat –era IoT (Internet of Things) dan big data. 

Memang, terdapat beberapa inovasi di bidang pertanian, namun hal itu berupa inovasi-inovasi minor jika dibandingkan dengan inovasi di bidang industri yang bergerak dengan begitu pesat. 

Jika mau merujuk kembali ke sejarah tercetusnya revolusi hijau, semestinya revolusi hijau dan revolusi industri berkembang secara bersamaan dan saling berkesinambungan, misalnya dengan pengembangan teknologi pertanian berbasis IoT: sistem kontrol dalam pengendalian hama dan pengairan, otomasi pemberian pupuk dan pestisida, serta berbagai pengembangan teknologi pertanian lainnya.

Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus umat manusia dalam memikirkan kelangsungan hidupnya, tentu manusia tidak akan memakan telepon genggamnya, kan? Hehe.

Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dalam Studium Generale di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta menyampaikan bahwa revolusi industri generasi keempat telah menanggalkan asas humaniter dari tujuan awal adanya revolusi industri, yaitu mewujudkan kesejahteraan manusia. 

Namun, kini justru banyak permasalahan yang diakibatkan oleh cepatnya perkembangan teknologi, culture shock dan culture lag hanya menjadi bagian kecil dari sekian banyak ketidaksiapan manusia sebagai pencipta teknologi dalam menghadapi teknologi yang telah ia ciptakan. 

Oleh karena itu, revolusi industri generasi keempat tidak boleh terlepas dari asas humaniter; dan revolusi hijau menjadi salah satu upaya pengembalian serta penanaman kembali nilai-nilai humanitas dalam pesatnya perkembangan teknologi.

Revolusi hijau bukan sebatas ladang bagi-bagi uang bagi para pemodal besar industri pertanian, pengusaha industri pupuk & pestisida, serta raja-raja baru di pemerintahan. 

Lebih dari itu, masalah pangan merupakan masalah serius yang harus diselesaikan bersama. Perguruan tinggi sebagai wadah akademisi, sudah seharusnya memberikan sumbangsih yang aktif-kontributif terhadap permasalahan kedaulatan pangan. 

Melalui riset, pengembangan, dan sosialisasi, seluruh penggiat pendidikan termasuk mahasiswa dapat turut mewujudkan kedaulatan pangan demi lestarinya umat manusia. 

Jika tidak, mau makan apa anak cucu kita besok? Bergeraklah cendekiawan muda! Berkontribusi aktif, karena masalah perut bukan masalah sepele.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun