Mohon tunggu...
hanifa salsabila
hanifa salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiwa sejarah unand 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Pacu Jalur di Batang Kuantan

26 November 2022   14:50 Diperbarui: 26 November 2022   14:53 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Batang Kuantan adalah nama sebuah sungai di pulau Sumatera di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Riau. Sungai ini bermula dari Danau Singkarak di Provinsi Sumatera Barat, di kawasan itu dikenal juga dengan Batang Ombilin. Muara sungai ini dikenal dengan nama Sungai Indragiri. Dalam bahasa daerah, kata versi mengacu pada badan atau sebagian besar sungai.
Sungai Batang Kuantan merupakan pertemuan 3 (tiga) sungai besar. Sungai-sungai yang bermuara di hulu Batang Kuantan adalah Batang Palangki yang bersumber dari Kabupaten Solok, Batang Ombilin yang bersumber dari Danau Singkarak, Kabupaten Solok dan Batang Sinamar yang bersumber dari Kabupaten Tanah Datar.
Batang Kuantan mengalir melalui Kabupaten Kuantan Singingi di Provinsi Riau dan bergabung dengan anak sungai lainnya untuk membentuk Sungai Indragiri.Muara Batang Kuantan terletak di Kabupaten Indragiri Hilir di Provinsi Riau dan bermuara ke Selat Malaka.
Batang Kuantan sejak lama tidak hanya menjadi aliran air, tetapi juga berperan dalam perkembangan peradaban di sepanjang aliran sungai.
Peradaban di pinggiran Batang Kuantan tidak lepas dari letaknya di Selat Malaka, salah satu jalur laut dunia yang ramai sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Pasalnya, Batang Kuantan dulunya berfungsi sebagai jalur transportasi yang menghubungkan daerah hulu dan hilir.
Batang Kuantan memainkan peran penting di masa lalu, mulai dari jalur perdagangan rempah-rempah, emas, dan kain hingga jalur pengaruh Islam. Dahulu penyebaran agama Islam disebabkan oleh para pedagang yang masuk ke sungai Indragiri di Batang Kuantan melalui Selat Malaka, terbukti dengan adanya makam-makam kuno yang biasanya terletak di tepi sungai.
Batang Kuantan juga digunakan sebagai jalur transportasi oleh masyarakat setempat dan penyapu ranjau pada masa penjajahan Belanda.
Batang Kuantan juga merupakan tempat kematian tragis ahli geologi Belanda Willem Hendrik de Greve yang terbawa arus pada 22 Oktober 1872 saat ekspedisi. Ekspedisi De Greve saat itu dilakukan untuk mengeksplorasi dan memetakan berbagai endapan mineral di pedalaman Minangkabau, yang sebelumnya telah dilakukan De Groot pada tahun 1858.
Tradisi Pacu Jalur di Batang Kuantan
Salah satu tradisi Batang Kuantan yang terkenal adalah Pacu Jalur, lomba dayung khas di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Pacu Jalur adalah tradisi masyarakat

 daerah Kuantan yang diwariskan secara turun temurun sejak zaman dahulu kala di Rantau Kuantan sejak tahun 1900.Tradisi Pacu Jalur ini merupakan tradisi yang sudah lama dilestarikan masyarakat Rantau Kuantan. Setiap masyarakat di indonesia memiliki bentuk budaya yang berbeda-beda. Pacu Jalur ini bukan hanya perlombaan cepat antar perahu, tetapi juga tradisi yang mengakar dan mendarah daging di masyarakat Rantau Kuantan. Tradisi Pacu Jalur merupakan budaya yang sudah ada di Kuansing selama lebih dari 100 tahun.
Pada awalnya, warga kebanyakan menggunakan perahu besar yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti tebu, pisang, dll. Hingga tahun 1950, jalur alat pacu jalur belum kembali ke kehidupan budaya masyarakat Kuantan Singingi, dan pada tahun 1951 dan 1952, setelah agresi Jepang dan Belanda, jalur tersebut kembali ke kehidupan budaya masyarakat Kuantan Singingi, dimana waktu pelaksanaannya Teluk Kuantan dan Baserah adalah dua kecamatan yang selalu ada landasan udara yang diadakan setiap ulang tahun kemerdekaan.
Dalam tradisi pacu jalur ini banyak memberikan kesan animisme dan dinamisme. Karena kayu jalur itu sendiri memiliki "mambang", yaitu roh-roh yang dipercaya menghuni kayu dan jalur tersebut. Jalan dipandang sebagai makhluk hidup yang mirip dengan manusia, yaitu tubuh dan pikirannya. Kayu jalur itu sendiri adalah tubuh sedangkan mambang di dalam kali jalur adalah ruh. Jika jalurnya sakit, tidak semua orang bisa menyembuhkannya, tapi yang bisa menyembuhkannya dalam hal ini adalah dukun. Oleh karena itu, ia biasa dikenal sebagai dukun jalur.
Pasca kemerdekaan Indonesia, tradisi pacu jalur diperkenalkan untuk merayakan hari besar keagamaan Islam seperti Idul Fitri di Riau. Kini tradisi Pacu Jalur diperingati untuk menghormati kemerdekaan Republik Indonesia. Pacu Jalur dibuat di atas balok kayu mulus atau perahu kayu solid yang oleh penduduk setempat disebut Jalur.
Lomba dayung ini berlangsung di atas perahu yang berisi 50-60 orang, tergantung panjang perahu. Menurut pemerintah kota setempat, lintasannya berupa "perahu besar" yang terbuat dari kayu gelondongan tanpa sambungan, cocok untuk 45-60 pendayung (pacumen), dengan panjang 16-25 m dan lebar bagian tengah. sekitar 1,3m hingga 1m 0,5m.
Kemudian muncul pita-pita yang dihias dengan ukiran-ukiran yang indah, seperti ukiran kepala ular, buaya atau harimau, baik di badan maupun di sarungnya, dipadukan dengan payung, tali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) dan ombak. juru mudi berdiri).
Pada saat yang sama, perubahan ini berarti menandai perkembangan lebih lanjut dari fungsi jalan tidak hanya sebagai alat transportasi, tetapi juga sebagai ekspresi identitas sosial. Karena hanya penguasa daerah, bangsawan dan leluhur yang menempuh jalur kesenian.
Baru 100 tahun kemudian warga melihat aspek yang lebih menarik lagi dari jalur tersebut, yaitu adu kecepatan antara jalur, yang hingga saat itu dikenal sebagai Pacu Jalan. Awalnya,

 Pacu Jalur diadakan di desa-desa di sepanjang Sungai Kuantan untuk merayakan hari raya Islam.
Menurut catatan sejarah, jalur tersebut dimulai di Rantau Kuantan menjelang akhir abad ke-17 dan awalnya jalur tersebut juga digunakan untuk menyambut tamu-tamu terhormat seperti raja dan sultan yang berkunjung ke Rantau Kuantan. Rute ini telah ditunggangi (dilombakan) sejak tahun 1905 dan sejak saat itu dikenal dengan nama PACU JALUR. Artinya jalan yang dikemudikan (run) atau lintasan balap.
Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, festival rakyat dan hari lahir Ratu Wilhelmina dari Belanda yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Balapan di sirkuit era Belanda dimulai dari 31 Agustus hingga 1 atau 2 September. Runway Party akan berlangsung selama 2-3 hari tergantung pada jumlah kursus dalam kompetisi.
Menurut penuturan orang tua setempat, pada zaman Belanda, gang-gang itu tidak sebesar sekarang yang jumlahnya ratusan. Saat itu hanya ada 22-30 baris. “Hanya anak-anak sekolah dari desa sekitar Teluk Kuantan yang melakukan upacara, menyanyikan Wilhelmus sebagai lagu kebangsaan Belanda saat itu,” ujarnya.
Setelah landasan udara merdeka, kegiatan itu dilakukan setahun sekali, yakni pada Hari Peringatan Kemerdekaan (HUT RI) yang jatuh pada 17 Agustus. Sampai saat ini event Pacu Jalan terus berlanjut sebagai tamu masyarakat dan jumlah pengunjung mencapai jutaan dan menjadi tujuan wisata utama Kuansing dan Riau.
Landasan pacu untuk sementara menjadi acara pada kalender pariwisata nasional, dan tanggalnya telah ditunda dari 23 hingga 26 Agustus. setiap tahun kecuali tahun 2011, saat itu landasan pacu dimajukan lebih awal karena hari kemerdekaan Indonesia bertepatan dengan bulan puasa. (bulan Ramadhan). ) agar orang tidak ikut campur kecuali untuk menunaikan tugasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun