Undangan selalu menarik perhatian ketika aku pulang. Kebanyakan undangan pernikahan, sesekali undangan sunatan. Tak jarang jumlahnya setumpuk setinggi laptop.
Aku agak kritis menilai visual undangan. Mulai tampilan muka, tipografi, warna, jenis kertas, denah lokasi, hingga nama tukang sablon dan lain sebagainya. Orientasinya ada yang potrait maupun landscape. Ada yang dikasih pita, ada semodel masuk ke dalam amplop. Keseringan model sekali buka, atau beberapa kali buka lembar, mirip daftar menu makanan restoran.
Kadang heran aku dengan tukang sablon yang memproduksi undangan. Heran karena seringkali pemilihan font susah terbaca dan tak tepat karakter. Bayangkan gelar akademik sarjana hukum yang disandang salah satu pasangan, ditulis dengan font berkaki yang terlalu berkaki-kaki. Sangat tidak elegan!
Terus, aku bertanya-tanya. Adakah mata kuliah Sejarah Visual Undangan di jurusan Desain Komunikasi Visual? Bila ada, tolonglah dosen yang mengampu mata kuliah tersebut membina tukang sablon undangan. Biar bisa bikin undangan yang berkarakter dan elegan. Jadi, kalau dapat pesanan undangan dari salah satu bintang film Annabelle bisa pakai Chiller font. Menyeramkan tapi berkarakter, bukan?
Sekalian dekonstruksi konsep visual undangan yang melulu menampilkan simplifikasi bebungaan. Sesekali bolehlah menampilkan penyerdehanaan onderdil mobil, perkakas rumah tangga, atau alat-alat perang.
Tak beruntungnya, sampai sekarang aku belum mendapati undangan yang mengundang teruntuk namaku. Paling-paling juga untuk bapak atau ibuku. Apa iya teman-teman sekolahku lupa? Apa iya jangan-jangan tak tahu alamat? Atau memang belum ada yang menikah? Ah, aku tak percaya. Undanglah aku kawan. Biar aku terlatih dalam berdandan.
Bahkan, aku memimpikan ada resepsi undangan di luar negeri. Tak melulu di dalam kota yang melulu di gelanggang olahraga. Undangan sekaligus tiket pesawat buat sekeluarga. Bubar resepsi kami sekeluarga bisa jalan-jalan.
Mubazir juga sudah punya paspor, tapi aku baru sekali ke luar negeri.
Bagi yang menempuh hidup baru, aku ucapkan selamat. Rancanglah surga senyaman kalian. Kelak ketika rumah kalian diketuk cobaan, ingatlah undangan yang dulu tersebar. Kenanglah teman-temanmu yang masih berstatus mahasiswa. Mereka yang dengan lahap menyantap katering resepsi, lalu mendoakan demi keabadian janji suci kalian.
Mungkin seperti yang lain, aku pun akan prihatin. Ketika aku pulang melihat undangan untuk kali kedua atas nama salah satu pasangan.
Lekas kalian mulai malam yang indah.
(Purwodadi, 11 Oktober 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H