Pagi ini seorang janda mengisahkan dukanya pada ranjang kamar :
Air mata menetes karena rindu luar biasa dalam lahir dan batinnya. Di ranjang kamar ini, dulu saat malam pertama, ia merasa di surga. Ia bergetar saat jemari kekar menjamah tiap lekuk tubuhnya. Satu per satu pakaian itu tanggal, menyisakan raut muka menggoda. Keempat mata saling mengadu, mereka hanyut dalam desah percintaan.
Ia sepi tak bisa bercinta lagi. Kubur suaminya sudah digali setahun lalu, yang gugur baku tembak di batas negara.
Ada dua siksa yang ia rasa : kehilangan pasangan bercumbu,
dan asupan gizi buat si bayi. Jasa mengangkat senapan tak begitu mahal daripada membeli popok, isi ulang bedak, jatah susu kaleng, hingga cicilan selimut tukang kredit.
Ia bersikeras hidup dengan selendang batik bernoda liur bayi, serta berharap buah dadanya mengucur deras untuk buah hati.
Pagi ini ia mengisahkan kabar gembira pada ruang tamu :
Seorang pemuda lima tahun lebih muda, datang melamar. Pemuda tampan dan mapan sekaligus anggota dewan. Janda itu mengiyakan, pesta pernikahan segera dilaksanakan.
Malam pertama hadir lagi. Bercinta tiap hari tanpa bosan. Sampai suaminya lupa kalau ia anggota dewan. Rapat dilupakan, gaji tetap ia genggam.
Mereka bercita bercinta di atas kapal pesiar. Suaminya bersiasat menyunat anggaran pendidikan. Milyaran ia dapat, sebelum KPK menangkap.
"Celaka ia janda lagi"