Pandemi Covid-19 telah memberikan pelajaran penting bahwa perubahan iklim seperti peningkatan suhu dan perubahan curah hujan perlu segera diantisipasi. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang berada tepat di garis khatulistiwa, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, dan kenaikan permukaan laut. Jakarta tenggelam bukan satu-satunya ancaman. Perubahan iklim juga berdampak besar pada kesehatan mulai dari penyebaran bibit penyakit melalui air, udara, makanan, dan vektor, sehingga meningkatkan risiko seperti malaria, demam berdarah, dan diare. Tidak sampai disitu, perubahan iklim juga menyebabkan perubahan pola penyakit infeksi, memburuknya kualitas udara, gangguan pasokan makanan hingga peningkatan angka kematian.
Sektor kesehatan, yang berkontribusi sekitar 4,4% dari total emisi global atau setara dengan 2 gigaton karbon dioksida, memiliki tanggung jawab besar dalam mengatasi krisis ini. Bila diibaratkan sebagai sebuah negara, sektor kesehatan akan menjadi penghasil emisi terbesar kelima di planet ini. Indonesia sendiri secara umum berada di peringkat kesepuluh sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia. Lalu, mengapa fasilitas kesehatan harus peduli?
Jika dilihat kembali, berapa energi yang berkontribusi jika fasilitas kesehatan terus beroperasi selama 24 jam? Apa dampak lingkungan yang dihasilkan dari limbah padat maupun cair yang terus dihasilkan? Bagaimana dengan pengadaan produk farmasi, kimia, termasuk juga makanan dan transportasi yang secara langsung maupun tidak langsung melepaskan gas rumah kaca? Berbagai aktivitas tersebut merupakan sumber dari jejak karbon pada layanan kesehatan.
Fasilitas Kesehatan yang Tangguh terhadap Perubahan Iklim
Kini kita menyadari bahwa negara yang lolos terhadap keruntuhan akibat pandemi Covid-19 tidak harus memiliki kapasitas fiskal yang tinggi. Tidak harus masuk dalam jajaran negara berpenghasilan ke atas (upper income country). Untuk mengatasi krisis kesehatan termasuk dampak perubahan iklim, diperlukan ketangguhan (resilience) dan penguatan (strengthening) sistem kesehatan. Sistem ini mencakup model pemberian pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, sistem informasi, pembiayaan, obat-obatan, vaksin, dan teknologi kesehatan, termasuk kepemimpinan dan tata kelola.
Berbagai regulasi, strategi dan kebijakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim dari bidang kesehatan telah dilakukan. Menteri Kesehatan RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2017 tentang Tim Teknis Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Bidang Kesehatan. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada tahun 2019 menyusun Rencana Adaptasi Nasional dengan 4 sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian dan kesehatan. Pada tahun 2021, Kementerian Kesehatan, Bappenas dan Low Carbon Development Indonesia (LCDI) menyusun lokasi prioritas risiko tinggi penyakit dan aksi ketangguhan iklim oleh sektor kesehatan. Strategi Indonesia terhadap iklim sampai tahun 2030 juga telah disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun kebijakan tersebut sebagian besar disusun di level nasional dan penyesuaian dengan konteks lokal yang dapat langsung diterapkan khususnya dalam pelayanan kesehatan masih terbatas.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi merupakan alternatif solusi dalam menurunkan jejak karbon. Penerapan rekam medis elektronik (RME) secara nasional dan inovasi terkait telemedicine menjadi salah satu praktik baik. RME memiliki manfaat klinis menurunkan kesalahan medis dan pengobatan serta meningkatkan keselamatan pasien, mengurangi tes klinis yang tidak perlu, dan konsumsi kertas. Telemedicine dapat mengurangi perjalanan menuju fasilitas pelayanan kesehatan sehingga menurunkan emisi gas rumah kaca dibandingkan pelayanan tatap muka.
Mengukur jejak karbon, menuju pelayanan kesehatan berkelanjutan
Langkah prioritas yang dapat dilakukan di setiap fasilitas kesehatan sebagai kontribusi dalam menurunkan efek pemanasan global dan perubahan iklim adalah melalui pelayanan kesehatan rendah karbon yang berkelanjutan. Carbon Calculator dapat menjadi inovasi dalam rangka mendukung inisiatif pengurangan jejak karbon di sektor kesehatan. Carbon calculator dirancang bersama Climate and Health Research Group Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada untuk mengumpulkan data rinci mengenai konsumsi energi, penggunaan air, manajemen limbah, serta praktik transportasi dan logistik di fasilitas kesehatan. Dari pengukuran jejak karbon melalui Carbon Calculator ini, diharapkan mendukung peningkatan kesadaran fasilitas kesehatan terkait area mana pada layanan kesehatan yang berkontribusi besar terhadap emisi. Inovasi ini mendukung flagship area penelitian universitas terkait Perubahan Iklim dan Adaptasi Lingkungan serta Sustainable Development Goals (SDGs) 13 terkait Climate Action dan SDGs 11 terkait Sustainable Cities and Communities.
Satu langkah kecil dari satu fasilitas kesehatan dalam mendukung penurunan jejak karbon akan mempercepat terciptanya sistem kesehatan yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim dan berkelanjutan. Kolaborasi bersama pemerintah, akademisi, sektor swasta, komunitas, dan media turut mendukung inovasi ini sebagai rekomendasi kebijakan yang tepat dan berbasis bukti. Carbon calculator dapat menjadi alat ukur jejak karbon di fasilitas kesehatan untuk meningkatan kesadaran publik akan ancaman perubahan iklim sebagai bagian dari krisis kesehatan, pandemi selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H