Aspirasi Dibatasi, Dimana Peran Demokrasi?
Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag
Negara yang menganut sistem demokrasi dikenal dengan negara demokratis karena sangat menjamin kebebasan bagi setiap warga negaranya. Terutama kebebasan dalam menyuarakan pendapat. Kebebasan ini diharapkan agar pemerintahan yang ada, bisa berjalan dengan adil dan pro rakyat. Apalagi jika negara tersebut memiliki dasar negara yaitu Pancasila yang menjamin kebebasan berpendapat warga negaranya seperti bunyi sila keempat yang berbunyi "kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Bukankah hal ini menunjukkan bahwa tradisi menyampaikan kritik di negara tersebut adalah suatu hal yang biasa bahkan dijamin oleh negara?
Namun apa jadinya jika negara yang disebut demokratis tersebut justru bersikap anti kritik bahkan sampai mengkriminalisasi warganya sendiri hanya karena menyampaikan kritik? Tentu hal ini menandakan bahwa penguasa nampaknya sedang berjalan menuju kekuasaan diktator. Buktinya peristiwa pembungkaman kritik atau aspirasi yang disampaikan oleh rakyat, semakin hari masif. Terbaru, kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang divonis bebas dari kasus 'lord' Luhut Panjaitan pada minggu lalu.
Sebelumnya Haris dituntut empat tahun penjara dan Fatia 3,5 tahun penjara karena dituduh mencemarkan nama baik Menko Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Kasus ini berawal dari program podcast di Youtube berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam." Dalam podcast ini Haris dan Fatia menyebut Luhut bermain dalam bisnis tambang Intan Jaya di Papua. LBP pun tidak terima perusahaannya yaitu PT Toba Sejahtera dituduh terlibat dalam bisnis tambang di Papua. LBP juga merasa dalam podcast tersebut bahwa ia diserang secara pribadi dan disebut sebagai 'lord' dan penjahat. (BBC.com 8 Januari 2024)
Namun menurut majelis hakim yang memvonis bebas atas kedua terdakwa, tidak ditemukan adanya unsur penghinaan atau pencemaran nama baik terkait istilah 'lord' yang merujuk pada sosok LBP. "Yang ditemukan dalam video podcast merupakan telaah, komentar analisa pendapat dan penilaian atas hasil kajian cepat yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil." Ujar majelis hakim. Haris pun juga mengaku bahwa ia tidak pernah menyerang pribadi Luhut dan sudah meminta maaf. (BBC.com, 8 Januari 2024).
Usai sidang vonis bebas atas kedua terdakwa yaitu Haris dan Fatia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru mengajukan asasi. JPU mengatakan bahwa Haris disebut ingin mengelabuhi masyarakat karena berniat membawa nama Luhut dalam isu utama di akun Youtubenya yang membahas tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia mengenai bisnis pertambangan di Blok Wabu, Papua. JPU juga menyebut bahwa Haris dan Fatia tidak pernah mengkonfirmasi ke Luhut atas video podcast yang telah diunggahnya.
Di mana Peran Demokrasi?
Muhammad Isnur yang merupakan anggota tim kuasa hukum Haris dan Fatia sekaligus Tim Adovokasi untuk Demokrasi mengatakan bahwa JPU dalam tuntutannya telah menyampingkan proses pembuktian di persidangan. Mereka juga menilai tuntunan JPU adalah bentuk penegasan jaksa yang membela kepentingan Luhut. "Tuntutan ini merupakan bentuk menginjak-injak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi situasi demokrasi, khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Ujar Muhammad Isnur.
Sementara itu, sejumlah LSM dan perorangan yang tergabung dalam 'Koalisi Masyarakat Sipil' (KMS) menyatakan, kasus ini merupakan kabar buruk bagi demokrasi dan situasi kebebasan sipil di Indonesia. "Kasus ini hanya akan menambah catatan hitam pada rekam jejak demokrasi di Indonesia. Haris dan Fatia juga merupakan korban judicial harassment dimana perangkat hukum digunakan untuk mempidanakan masyarakat yang aktif berpendapat. Ujar KMS dalam rilisnya yang dimuat di situs Kontras.
Pakar Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah (Castro) menilai langkah kejaksaan yang mengajukan kasasi atas putusan bebas Haris dan Fatia seperti pasang badan untuk LBP. Castro berpendapat bahwa seharusnya JPU menerima putusan majelis hakim dengan alasan telah sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang harusnya dijamin oleh negara. "Ini pertanda kejaksaan bukan lagi menjadi alat mencari keadilan, tapi seperti diperalat oleh kepentingan pejabat publik." Ujar Castro.