SDA untuk Swasta, Pariwisata untuk Rakyat, Adilkah?
Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti (Mahasiswi)
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak potensi wisata yang besar nan indah. Potensi wisatanya terdiri dari pantai, gunung, danau, dan pulau-pulau yang memiliki keindahannya tersendiri. Maka tak heran jika Indonesia disebut sebagai salah satu pasar industri terbesar yang bisa membawa keuntungan berlimpah karena potensi wisata dan jumlah penduduknya yang berjumlah 270 juta jiwa.
Potensi wisata yang besar ini kemudian mendapat atensi dari legislator yaitu Pejabat Gubernur Kaltim, Dr Akmal Malik yang tengah mengunjungi Wisata Pantai Beras Basah di Kota Bontang pada (Kamis 12/10/2023). Akmal Malik mengaku kagum akan keindahan dan kebersihan Pantai Beras Basah. Menurut Akmal, untuk mendukung pengelolaan objek wisata ini agar bisa terus maju adalah terjalinnya kontribusi dari berbagai pihak. Akmal juga berpesan, agar Bontang terus maju, mereka harus terus menggali potensi wisata yang bisa diandalkan selain pantai atau laut karena tidak lama lagi 1,8 juta orang akan berkunjung ke Kaltim sebab IKN yang telah diresmikan. (Kaltimprov.go.id, 15/10/2023).
Sekilas apa yang disampaikan oleh Pejabat Gubernur Kaltim tersebut dinilai cukup baik dan membawa solusi. Karena tidak menutup kemungkinan potensi wisata memang membawa keuntungan besar yang pada akhirnya bisa menambah pendapatan negara. Namun hanya menjadikan wisata sebagai satu-satunya sumber untuk menyejahterakan rakyat di daerah tersebut adalah sesuatu yang keliru dan wajib untuk dikritisi.
Sumber Daya Alam (SDA) Dibawa Kemana?
Kota Bontang terkenal dengan kota industri dan jasa karena di kota ini berdiri tiga perusahaan besar di bidang yang berbeda-beda seperti Perusahaan Badak NGL (gas alam), Perusahaan Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Urea, Amonia Liquid dan Pupuk NPK) dan Indominco Mandiri (batubara). Bontang juga memiliki kawasan industri petrokimia yang bernama Kaltim Industrial Estate.
Menurut Wikipedia, Bontang juga dikenal dengan kekayaan gas alamnya yang menjadi komoditas utama dalam menopang perekonomian Kota Bontang. Ada juga industri lainnya yaitu PT Pupuk Kaltim yang memproduksi amonia dan urea lalu diekspor hingga berjumlah satu juta ton per tahunnya. Dengan demikian ekspor keseluruhan Kota Bontang menghasilkan devisa sebesar US$ 8.119.872.685. Sebagian besar nilai ekspor tersebut berasal dari ekspor migas, yaitu sebesar US$ 7.216.713.333 sedangkan ekspor nonmigas hanya sebesar US$ 903.159.352. (Wikipedia, 15/5/2023).
Namun sungguh mengherankan. Di balik kekayaan alam dan pesatnya usaha industri di Kota Bontang, masih ada 8.390 warga di Bontang yang mengalami kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bontang, Persentase penduduk miskin pada tahun 2022 sebesar 4,54 persen, menurun 0,08 persen poin terhadap tahun 2021 atau menurun 0,02 ribu orang di tahun 2021. Pada tahun 2022, Garis Kemiskinan (GK) di Kota Bontang berada pada level Rp697.326.00 per kapita per bulan. Artinya 4,54 persen penduduk Kota Bontang memiliki rata-rata pengeluaran per bulannya kurang dari Rp697.326,00. Ini baru data tahun 2022, bagaimana tahun 2023? Tentu hasilnya tetap sama bahkan mungkin lebih banyak. (Bontangkota.bps.go.id, 21/12/2022).
Sungguh aneh bukan ketika mengetahui potensi SDA di Kota Bontang yang begitu besar, namun manfaat dari kekayaan SDA tersebut ternyata tidak dirasakan oleh seluruh warga Kota Bontang. Jika pendapatan mereka per bulannya hanya berkisar 600 ribu lalu dibagi selama 30 hari, maka kurang lebih pendapatan mereka sehari hanya 20 ribu. Lantas dengan uang yang tak seberapa itu, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok sementara pada hari ini saja kebutuhan sandang, pangan dan papan terus merangkak naik. Belum lagi kebutuhan akan BBM dan kesehatan yang juga mahal. Jelaslah dengan pendapatan yang rendah tersebut, mereka pasti tertatih-tatih saat memenuhi kebutuhan hidupnya bahkan mungkin saja mereka sering menahan lapar. Innalillah.