Mohon tunggu...
Hanifah Syadza
Hanifah Syadza Mohon Tunggu... Mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya memiliki hobi membaca novel, menonton film atau series romcom dan K-drama.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Toxic Positivity: Ketika 'Semua Akan Baik-Baik Saja' Jadi Beban Baru

19 Desember 2024   21:43 Diperbarui: 19 Desember 2024   22:10 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toxic Positivity. Sumber Ilustrasi: Freepik

Ketika sedang mengalami kesulitan, ungkapan seperti "Semua akan baik-baik saja" atau "Jangan khawatir, coba deh lihat dari sisi positifnya!" Pasti sering kamu dengar sebagai bentuk dukungan bukan? Namun, apakah kita sadar jika ungkapan tersebut bisa berbalik menjadi beban bagi mereka yang mendengarnya? Inilah yang disebut sebagai toxic positivity.

Toxic positivity sering kali tidak disadari dan bisa menambah beban psikologis bagi orang yang sedang berjuang. Meskipun dimaksudkan untuk memberi semangat, sikap ini justru bisa membuat orang merasa bahwa perasaan mereka tidak dihargai atau bahkan dianggap salah. Penasaran bagaimana toxic positivity bisa menjadi beban bagi kita? Yuk, simak penjelasan selengkapnya.

Apa itu Toxic Positivity?

Dr. Jaime Zuckerman, seorang psikolog klinis dan terapis perilaku kognitif, menjelaskan bahwa toxic positivity adalah anggapan bahwa meskipun seseorang sedang merasa sakit hati atau menghadapi masalah, mereka seharusnya tetap berpikir positif.

Perasaan sedih atau marah adalah suatu hal yang normal, yang menjadi masalah adalah ketika kita menganggap orang yang tidak merasa Bahagia itu adalah sesuatu yang salah ataupun kurang. Ketika kita mengatakan bahwa perasaan negatif itu buruk, kita justru dapat membuat orang merasa malu, bersalah, atau merasa tidak cukup baik.

Mengapa Toxic Positivity bisa menjadi beban baru? 

Orang lain, atau bahkan diri kita sendiri, sering membuat kita merasa bahwa kita harus berpura-pura tidak merasakan sakit emosional. Kita diharapkan untuk tetap baik-baik saja meskipun kenyataannya kita sedang merasa sedih, cemas, atau marah. Ketika kita terpaksa terus berpikir positif, perasaan negatif yang sebenarnya kita rasakan akan disembunyikan. Padahal, perasaan seperti itu adalah hal yang wajar dan perlu diproses agar kita bisa merasa lebih baik.

Toxic positivity justru menjadi beban karena memaksa kita untuk berpikir positif meski hati kita sedang tidak baik-baik saja. Ketika kita menekan perasaan negatif, kita malah merasa tidak dipahami dan semakin terisolasi, yang justru memperburuk keadaan emosional kita. Beban ini semakin terasa saat kita merasa bersalah atau malu karena tidak bisa selalu bahagia dan kuat. Padahal, kita sebenarnya membutuhkan waktu dan ruang untuk merasakan dan mengatasi perasaan tersebut, bukan memaksakan diri untuk selalu berpikir positif.

Contoh Nyata Toxic Positivity yang Sering Terjadi

Toxic positivity sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika seseorang sedang menghadapi masalah besar, seperti kehilangan pekerjaan atau ditinggalkan oleh orang terkasih. Meskipun niat orang yang memberi nasihat baik, seperti "Semuanya akan baik-baik saja" atau "Cobalah lihat sisi positifnya," kalimat-kalimat tersebut justru bisa menambah beban. Orang yang sedang sedih atau cemas akan merasa bahwa perasaan mereka tidak dihargai dan terpaksa berpura-pura bahagia, padahal sebenarnya mereka membutuhkan waktu untuk merasakan dan mengatasi perasaan tersebut.

Di media sosial, toxic positivity semakin terasa karena banyak orang hanya menunjukkan sisi positif hidup mereka. Dengan hal itu dapat membuat orang lain merasa tertekan untuk selalu tampil bahagia dan sukses, meskipun sebenarnya mereka sedang menghadapi masalah. Alih-alih merasa dibantu, toxic positivity justru membuat orang merasa lebih kesepian dan tidak diperbolehkan untuk merasakan perasaan negatif, padahal yang mereka butuhkan adalah dukungan yang lebih empatik dan pengakuan atas perasaan mereka.

Solusi: Menjadi Lebih Sadar dan Berempati dalam Menanggapi Emosi

Daripada memberikan nasihat yang menekankan pentingnya berpikir positif, akan lebih baik jika kita mendengarkan dengan empati dan memberikan dukungan emosional yang lebih berarti. Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah dengan mengakui perasaan orang lain atau bahkan diri kita sendiri, misalnya dengan mengatakan , "Aku tahu ini pasti sulit banget untuk kamu, dan kamu berhak kok untuk merasa sedih," atau "Aku bisa bayangin betapa sulitnya ada di posisi kamu saat ini." Dengan begitu, kita bisa memberikan ruang untuk orang lain ataupun diri kita sendiri untuk merasakan emosi tanpa perlu merasa dihakimi. Dukungan yang penuh empati ini akan lebih membantu dalam memproses perasaan kita ataupun orang lain, daripada hanya mendorong untuk berpikir positif dan mengabaikan kenyataan yang sedang dihadapi.

Toxic positivity bisa menjadi beban karena memaksa kita untuk selalu berpikir positif, meskipun perasaan kita sedang kacau. Alih-alih memberikan dukungan, ungkapan seperti "semuanya akan baik-baik saja" justru membuat kita merasa tertekan dan tidak dipahami. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Zuckerman, menerima perasaan kita, baik itu sedih, marah, atau cemas adalah hal yang penting. Jangan mencoba mengabaikan atau menekan perasaan tersebut, karena itu hanya akan membuatnya semakin kuat dan kita jadi merasa lebih tertekan. Untuk itu, kita perlu lebih empatik dan memberi ruang bagi perasaan negatif agar setiap orang bisa merasakannya dengan cara yang sehat dan bebas dari penghakiman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun