Hari-hari di rumah tiba-tiba terasa membosankan. Arvid, yang sudah berumur 11 tahun, sering menghabiskan waktu dengan hobinya sejak kelas satu SD---mencoba menemukan hal-hal baru atau mempelajari sesuatu yang menarik.
Namun, saat ini, semuanya terasa hambar baginya. Tidak ada lagi tantangan atau kejutan yang bisa membuatnya bersemangat.
Keesokan harinya, di hari Jumat, Arvid berjalan menuju sekolah yang jaraknya hanya 20 langkah dari rumah.
Ia sudah hafal setiap kerikil di jalan itu, setiap bayangan yang jatuh dari pohon rindang di pinggir trotoar.
Tapi hari itu, ada sesuatu yang ganjil. Langkahnya terhenti sejenak saat telinganya menangkap suara aneh, seperti bunyi bel sekolah pelan yang terhembus angin.
Suara itu tidak berasal dari orang-orang di sekitar, juga bukan dari burung-burung yang biasa berkicau di pagi hari.
"Apa ini?" gumam Arvid pelan, menyadari ada sesuatu di tanah. Benda itu kecil, tipis, dan permukaannya berkilauan seperti kaca, hampir tak terlihat karena bercampur dengan cahaya matahari pagi.
Dengan hati-hati, Arvid membungkuk dan memungut benda itu. Ketika ia memiringkan benda itu, cahaya matahari memantul dari layar hitamnya, membuatnya terlihat seperti sedang menyimpan rahasia di dalamnya.
Pola bercahaya muncul di permukaannya, seolah-olah benda itu "hidup." Arvid menyentuh permukaan benda itu lagi, dan pola cahaya itu menyebar seperti aliran air.
"Ini... hidup?" ucapnya, terkejut.
Di balik benda itu, ada lambang aneh yang tidak dikenalnya, seperti buah yang terkadang ia makan. Rasa penasaran Arvid semakin mendalam.
Namun, saat ia hendak memeriksanya lebih lanjut, seseorang menepuk pundaknya dengan lembut.
"Maaf dek, itu punya kakak tadi jatuh. Makasih ya udah menemukannya," terdengar suara yang tidak dia kenali itu.
Arvid menoleh dan melihat seorang remaja yang tersenyum kepadanya. Wajahnya kikuk dan bingung, tetapi dengan sukarela ia menyerahkan benda itu.
"Iya, sama-sama ka," jawab Arvid, meskipun di dalam hatinya ia merasa sedikit kecewa karena tidak bisa menyelidiki lebih jauh.
Setelah menyerahkan benda itu, Arvid melanjutkan langkahnya menuju sekolah. Saat ia hampir sampai, salah satu temannya, Ryo, sedang  menaruh tas nya di kelas dengan wajah ceria.
"Yess, aku datang duluan sebelum kamu, Arvid!" teriak Ryo, sambil melambaikan tangan.
Arvid berlari ke kelasnya dengan segera sambil memasang wajah cemberut.
"Ih, tadi aku habis nemu benda keren, makanya lama!" tolak Arvid, sedikit kesal meskipun ia tahu itu bukan sesuatu yang bisa dia pamerkan lagi.
Di sekolah, banyak teman Arvid yang rumahnya dekat, jadi beberapa dari mereka selalu berlomba untuk sampai lebih dulu.
Setiap minggu, guru mereka memberikan hadiah kepada murid yang datang paling awal. Dari kelas 1 sampai kelas 3, Arvid selalu mendapatkan hadiah, tapi sekarang, semakin banyak hal menarik yang mengalihkan perhatiannya.
Tapi tetap saja, hadiah-hadiah yang gurunya berikan itu berharga kalau dilewatkan olehnya, karena Arvid menganggap hadiah dari gurunya seperti benda misterius yang baru saja ia temui di jalan---menjadi sesuatu yang menyimpan kejutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H