Pagi itu, pukul 06.00, aku dan teman-temanku duduk melingkar. Suasana terasa tenang, hanya suara burung di luar yang sesekali terdengar.
Kami memulai dengan doa bersama sebelum menyetorkan hafalan yang telah ditugaskan kemarin. Setelah doa selesai, aku meluangkan waktu sejenak untuk memperkuat hafalan yang sudah kusiapkan.
Namun, suasana berubah menjadi hening dan tegang ketika saatnya setoran dimulai. Semua tampak ragu untuk maju lebih dulu. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, lalu melangkah ke depan.
Dengan sedikit gemetar, aku mulai membaca ayat-ayatnya. Rasanya seperti ada suara dalam kepalaku yang mencoba menghalangi, tapi aku berusaha tetap fokus. Satu halaman berhasil kuselesaikan.
Tiba-tiba, guruku bertanya, “Kamu sudah hafal surat ini?” Pertanyaan itu membuatku terdiam. Aku bingung harus menjawab apa. Mulutku terasa kering, dan akhirnya aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Guruku mengangguk kecil, tanpa menunjukkan ekspresi kecewa, dan berkata, “Oke, silakan kembali ke tempat duduk.” Hatiku merasa lega, meskipun ada sedikit rasa malu yang mengganjal.
Aku kembali ke tempat duduk dan mencoba menenangkan diriku sambil memperhatikan teman-temanku yang lain.
Setelah sesi mengaji selesai, kami bergegas mandi dan sarapan sebelum ujian dimulai. Ujian pertama adalah pelajaran Islam—bacaan doa, praktik salat, dan sejenisnya.
Meski aku sempat canggung, aku bisa menyelesaikan ujian itu dengan cukup baik.
Namun, rasa cemas mulai muncul saat giliran ujian matematika tiba. Ketika soal-soal dibagikan, aku merasa lega karena sebagian besar sudah pernah kupelajari.
Beberapa soal bisa kuselesaikan dengan mudah, meskipun ada beberapa yang membuatku ragu.
Saat ujian berlangsung, pandanganku sempat teralihkan ke jendela. Dari lantai tiga, aku bisa melihat lapangan luas dan kantin yang sering disebut-sebut oleh kakak kelas.
Mereka juga bercerita bahwa lantai tiga ini penuh dengan cerita horor, tapi aku hanya menganggapnya sebagai candaan.
Hari Sabtu itu terasa panjang dan melelahkan, terutama setelah ujian matematika. Malam harinya, suasana kamar masih ramai dengan bisikan dan tawa pelan teman-teman.
Namun, aku merasa belum terlalu akrab dengan mereka. Ketika aku hampir tertidur, aku mendengar suara tangis pelan dari salah satu teman sekamarku. Sepertinya, dia merindukan orangtuanya.
Aku ingin menghampiri, tapi tidak tahu harus berkata apa. Untungnya, seorang kakak kelas datang dan menghiburnya dengan lembut. Melihat itu, hatiku terasa hangat. Aku akhirnya tertidur dengan perasaan campur aduk.
Keesokan paginya, suasana berubah. Tidak ada lagi sesi mengaji, semua sibuk berkemas. Pukul 06.00, aku mulai membereskan barang-barangku. Setelah mandi dan sarapan, kami berkumpul di aula untuk acara penutupan.
Acara penutupan berlangsung meriah. Ada pemberian hadiah untuk teman-teman yang mendapatkan kategori seperti "paling cepat berteman," "paling baik," dan "paling berani."
Aku tidak mendapatkan apa-apa. Meski sedikit sedih, aku mencoba menghibur diri dengan ikut bertepuk tangan untuk teman-teman yang lain.
Setelah pembagian hadiah, kami berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Saat orangtuaku datang menjemput, aku menatap gedung pondok ini sekali lagi.
Rasanya, meskipun singkat, aku sudah mulai menyukai suasana di sini.
Dalam perjalanan pulang, aku tersenyum kecil. Dalam hati, aku berharap bisa kembali ke pondok ini suatu hari nanti, bertemu teman-teman baru, dan mungkin, lebih akrab dengan Filma dan yang lainnya.
Momen ini mungkin sederhana, tapi akan selalu kuingat sebagai awal dari perjalanan baruku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H