Perkawinan wanita hamil dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman agama, pergaulan bebas, kurangnya pengawasan orang tua, penyalahgunaan teknologi, pendidikan yang kurang, hubungan biologis sebelum menikah, keadaan ekonomi, perilaku, dan pengaruh lingkungan yang negatif.
Penyebab terjadinya perkawinan pada wanita hamil ada dua faktor :
1. Faktor Internal
Manusia secara naluri mempunyai keinginan terhadap lawan jenis. Jika keinginannya begitu besar, ia mungkin mengalahkan akal sehat, akal sehat, dan kendali normal. Artinya, jika akal sehat dan keyakinan moral tidak  kuat  mengendalikan gejolak nafsu, maka orang akan melakukan perzinahan jika tidak menempuh jalur perkawinan yang sah. Oleh karena itu, Rasulullah menganjurkan puasa bagi mereka yang telah mencapai usia menikah namun belum mampu menikah.
2. Faktor Eksternal
Ada dua faktor eksternal yang memungkinkan terjadinya kehamilan di luar nikah.
a.) Kondisi Sosial Faktor eksternal yang memungkinkan atau mendorong terjadinya perzinahan disebabkan oleh kondisi sosial yang membenarkan terjadinya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Kebiasaan berhubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang dulunya dianggap tabu, namun kini menjadi lebih longgar. Situasi, suasana, dan  sosial yang penuh  dengan  mediasi pornografi seringkali dimanfaatkan oleh kaum ekstrovert yang mempunyai hasrat terhadap lawan jenis namun kurang memiliki rasa ketakwaan atau kontrol moral yang kuat agar tidak melanggar hukum agama dan konvensi yang berlandaskan moral Karena keyakinan agamanya, mereka melakukan hubungan seksual di luar akad nikah yang sah (zina).
b.) Sangat lemahnya aturan hukum pidana positif.
Aturan hukum pidana positif melarang perbuatan hukum di luar nikah yang dilakukan oleh orang lajang, anak perempuan, atau orang yang tidak terikat perkawinan, dan yang dilakukan atas persetujuan bersama sebagai perzinahan atau perzinahan tidak menargetkan hubungan seksual. Dimaknai dalam hukum pidana sebagai tindak pidana mutlak. Oleh karena itu, sebagian anggota masyarakat tidak takut melakukan perzinahan atau hubungan seksual di luar perkawinan yang sah. Sebab, belum ada aturan jelas untuk menjerat mereka.
Menurut KHI, wanita hamil di luar nikah dapat langsung dinikahkan dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak, sementara beberapa mazhab Islam ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Berikut pandangan 4 mazhab tentang wanita hamil yang dinikahi.
1. Pendapat Mahzab Syafi'i
Imam Syafi'i dan ulama-ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa boleh atau menganggap sah perkawinan wanita hamil akibat zina baik dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki lain tanpa perlu menunggu si cabang bayi yang dikandung oleh wanita itu lahir. Pernikahan yang dilakukan wanita walau dalam keadaan hamil diperbolehkan menurut Mahzab Syafi'iyah selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan adanya ijab kabul. Wanita yang hamil akibat zina, maka tidak ada hukum kewajiban iddah baginya, dan diperbolehkan untuk menikahinya dan juga menggaulinya.
2. Pendapat Mahzab Hanafi
Imam Abu Hanifah pun mengemukakan pendapat yang hampir sama, bahwa perkawinan bagi wanita hamil adalah sah dengan syarat yang menikahinya adalah pria yang menghamilinya. Adapun laki-laki yang bukan menghamilinya tetap sah melakukan perkawinan dengan wanita hamil akibat zina akan tetapi tidak boleh melakukan hubungan intim sampai si wanita melahirkan bayi yang dikandungnya. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa wanita hamil karena zina tidak diwajibkan baginya masa iddah, karena iddah bertujuan menjaga nasab, sehingga boleh untuk menikahi wanita hamil tanpa harus menunggu masa iddah. Hal ini dikarenakan bahwa wanita hamil akibat zina tidak termasuk kategori wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, maka perkawinan wanita hamil diperbolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam QS. An-Nisa (4): 24. Berdasarkan ayat tersebut wanita hamil tidak termasuk ke dalam golongan wanita yang haram dinikahi, wanita yang hamil karena zina termasuk dalam katagori Mutlaq wanita yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, sementara itu, tidak terdapat dalil atau illat lain yang menunjukkan haram menikahi wanita hamil. Oleh karenanya, wanita hamil boleh dinikahi.
Dengan catatan jika yang menikahi wanita hamil itu laki-laki yang bukan menghamilinya, maka tidak boleh mencampuri wanita itu sebelum ia melahirkan. Dasar hukum lain yang dijadikan landasan yaitu ketika Rasulullah saw. Ditanya mengenai seorang laki-laki yang berzina dengan seorang wanita, kemudian si laki-laki berniat untuk mengawininya, saat itu Rasulullah saw menjawab "Perbuatan haram tidak mengharamkan yang halal" (HR. Baihaqi dari 'Aisyah ra.). Hadits di atas menjelaskan bahwa perzinaan merupakan perbuatan yang haram, sedangkan perkawinan merupakan perbuatan yang halal, sehingga dalam konteks hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan yang haram (perzinaan) tidak dapat megharamkan perbuatan yang halal (perkawinan). Dengan demikian, keharaman perzinaan tidak dapat mengharamkan halalnya pelaksanaan perkawinan, meskipun yang melangsungkan perkawinan adalah pelaku zina, yakni pasangan yang melakukan perzinaan sehingga menyebabkan wanita hamil.
3. Pendapat Mahzab Maliki
Berbeda halnya dengam Mahzab Syafi'i maupun Mazhab Hanafi, pendapat Mahzab Maliki sangat berkebalikan. Dikemukakan oleh Imam Malik bin Anas, beliau mengharamkan secara mutlak pelaksanaan kawin hamil. Imam Malik berpendapat bahwa hukum menikahi wanita hamil akibat zina adalah tidak sah, baik yang menikahi itu adalah laki-laki yang menghamilinya ataupun yang bukan menghamilinya. Menurut pendapat ini, wanita hamil di luar nikah harus menunggu hingga bayi yang dikandungnya lahir terlebih dahulu baru kemudian si wanita hamil tersebut dapat melangsungkan akad perkawinan. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa wanita yang digauli karena zina maka hukumnya sama seperti halnya digauli karena syubhat, baik berdasarkan akad yang bathil maupun fasid, maka ia harus menjalani masa iddah sebagaimana masa iddah pada umumnya.
4. Pendapat Mazhab Hambali
Pendapat Mazhab Hanbali memiliki kemiripan dengan Mazhab Maliki, yang mana dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berpendapat bahwa tidak sah menikahi wanita yang diketahui telah berbuat zina, baik laki-laki yang menzinainya maupun laki-laki yang bukan menzinainya. Wanita pezina, baik ia hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan dua syarat:
1) Telah habis masa iddahnya, namun apabila hamil, maka iddahnya habis sampai dengan melahirkan anaknya, dan belum boleh mengawininya sebelum masa iddahnya itu.
2) Telah taubat wanita itu dari perbuatan maksiat, dan apabila ia belum
bertaubat maka tidak boleh mengawininya. Apabila telah sempurna kedua syarat itu, yaitu telah habis masa iddahnya dan telah bertaubat dari dosanya, maka halal mengawini wanita itu bagi laki-laki yang menzinainya ataupun laki-laki lain.
Tinjauan sosiologis, religius, dan yuridis terhadap pernikahan wanita hamil melibatkan aspek-aspek berbeda. Berdasarkan analisis sosiologis, pernikahan wanita hamil dapat dilihat sebagai respons terhadap norma-norma sosial yang berkaitan dengan kehamilan di masyarakat tertentu. Hal ini dapat mencerminkan nilai-nilai terkait tanggung jawab, moralitas, dan stigma yang mungkin melekat pada kehamilan di luar pernikahan. Dari perspektif religius, pernikahan wanita hamil bisa dianggap sebagai upaya untuk menghindari stigma sosial atau untuk memperbaiki situasi yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap ajaran agama tertentu. Agama-agama sering memiliki pandangan yang berbeda terkait pernikahan di luar kehamilan, dan tanggapan terhadap situasi ini dapat bervariasi tergantung pada keyakinan agama yang dipegang. Dan berdasarkan analisis yuridis, dalam banyak yurisdiksi, pernikahan wanita hamil tidak secara khusus diatur, tetapi mungkin diperlakukan seperti pernikahan pada umumnya. Namun, beberapa negara atau wilayah mungkin memiliki undang-undang yang mengatur aspek-aspek tertentu terkait pernikahan wanita hamil, seperti persyaratan usia atau persetujuan dari pihak yang terlibat.
Generasi muda atau pasangan muda yang ingin membangun keluarga sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam sebaiknya memperhatikan beberapa hal penting :
1. Menjalankan Ajaran Agama
- Memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti shalat, puasa, dan zakat.
- Memprioritaskan keharmonisan keluarga dengan landasan ajaran agama.
2. Komunikasi yang Baik
- Berkomunikasi secara terbuka dan jujur antara suami istri untuk menghindari konflik.
- Mendiskusikan masalah bersama dengan penuh pengertian dan kesabaran.
3. Tanggung Jawab
- Memahami dan menjalankan tanggung jawab masing-masing sebagai suami, istri, dan orangtua.
- Menjaga keuangan keluarga dengan bijaksana sesuai dengan prinsip syariah.
4. Pendidikan Anak
- Memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anak.
- Menjadi teladan yang baik dalam berperilaku agar anak-anak dapat mencontoh kebaikan.
Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, generasi muda atau pasangan muda dapat membangun keluarga yang harmonis sesuai dengan regulasi dan hukum agama Islam.
Disusun oleh :