Dalam budaya masyarakat suku Dayak, mereka memiliki kebudayaan berupa rumah adat yang disebut dengan Huma Betang atau rumah Betang. Jadi Huma Betang ini sebenarnya merupakan rumah/ bangunan adat masyarakat suku Dayak.Â
Rumah adat ini terdapat di hampir seluruh pulau Kalimantan Tengah, terutama di daerah hulu sungai yang dahulu sebagai pusat pemukiman suku Dayak. Biasanya rumah tersebut berbentuk rumah panggung yang besar dan memanjang.Â
Dibangun dengan ketinggian sekitar tiga sampai lima meter dari tanah untuk menghindari banjir saat musim penghujan. Rumah ini biasanya akan ditempati secara turun temurun dan dipelihara dalam kehidupan keluarga besar masyarakat Dayak.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat betang Damang menjelaskan bahwa terdapat beberapa nilai dari huma betang seperti persaudaraan dan kebersamaan (hapahari), tolong-menolong (handep), hidup  beradab dan memiliki etika (belom bahadat), dan bermufakat (hapakat kula). Nilai-nilai ini kemudian melebur menjadi bagian dari kepribadian dan identitas masyarakat Dayak itu sendiri.Â
Saat ini huma betang tidak hanya menjadi sebuah bangunan adat saja, tetapi nilainya sudah menjadi falsafah hidup dari masyarakat suku Dayak. Falsafah ini sangat berarti bagi mereka, dibuktikan dengan diresmikannya sebuah Perda Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 10 tahun 2010 yang pada intinya menyebutkan bahwa kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat Dayak itu berlaku berdasarkan pengalaman hidup, dan juga menggunakan falsafah huma betang dalam membentuk aturan perilaku.
Fenomena tersebut menjelaskan bahwa terdapat peran budaya dalam perilaku psikologis individu. Huma betang berubah dari yang tadinya hanya sebagai sebuah simbol budaya menjadi suatu sikap yang terkait dengan nilai, kepercayaan dan opini hidup mereka. Selain itu nilai dari rumah betang juga bermanifestasi menjadi norma yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam berkehidupan. Akibatnya ini akan mempengaruhi bagaimana cara hidup dan berkehidupan masyarakat Dayak.Â
Melihat demografi penduduk di Pulau Kalimantan, saat ini tidak hanya dihuni oleh penduduk asli Kalimantan saja. Akan tetapi, kita dapat melihat banyaknya orang-orang dari pulau lain yang memutuskan untuk datang dan menetap di sana sehingga tidak sulit untuk menemukan orang-orang dari luar pulau. Fenomena seperti ini tentunya membuat masyarakat harus terbiasa dengan kehidupan yang multikultural, baik perbedaan ras, agama, maupun suku budaya.Â
Masyarakat Dayak kemudian menerapkan konsep semboyan "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung" serta "duduk sama rendah berdiri sama tinggi". Konsep ini menjadikan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah menjunjung tinggi nilai toleransi baik antar umat beragama dan antar suku yang berbeda dilandasi adanya sikap menghormati. Terlebih melihat histori dari masyarakat Kalimantan Tengah yang pernah mengalami konflik antar suku.
Berkaca dari peristiwa tersebut, nilai-nilai huma betang yang diaplikasikan masyarakat Dayak ini sejatinya dapat berguna untuk menurunkan etnosentrisme dan kesalahpahaman komunikasi dengan orang dari budaya lain yang tinggal bersama di pulau Kalimantan.Â
Mengacu pada kondisi tersebut, psikologi budaya dapat terus dikembangkan pada masyarakat di Kalimantan Tengah dengan terus mempertahankan falsafah huma betang. Bahkan, nilai-nilai dari budaya tersebut tidak hanya dapat dikonsumsi oleh orang suku Dayak saja, tetapi bagi semua penduduk yang saat ini bertinggal di wilayah tersebut. Meskipun demikian, nilai falsafah tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dapat terus dikonstruksi ulang sehingga tetap dinamis menyesuaikan perkembangan yang ada.
Referensi: