Prof dr. Ascobat Gani, DR., MPH, guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, dalam satu kesempatan pertemuan pembahasan mengenai Universal Health Coverage (UHC) menyebutkan bahwa ada yang salah dengan pemahaman UHC selama ini. Prof Ascobat Gani menegaskan bahwa penerapan UHC dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak hanya bisa diartikan sebagai cakupan kepesertaan seluruh penduduk saja, namun lebih dari itu, UHC juga harus menilik kepada jenis layanan kesehatan yang diberikan. UHC haruslah mencakup upaya kesehatan secara keseluruhan termasuk Upaya kesehatan Masyarakat (UKM) dimana didalamnya ada upaya preventif dan promosi kesehatan.
Selama ini, pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional lebih menekankan kepada upaya kuratif dengan menjamin seluruh penduduk untuk mendapatkan pelayanan pengobatan. Belum ada kebijakan konkrit yang memihak kepada upaya preventif dan promosi kesehatan dalam Upaya pencapaian Universal Health Coverage di Indonesia.
Kesalahan Persepsi
Berbicara tentang JKN yang terlintas dalam benak sebagian orang adalah kesempatan bagi seluruh penduduk Indonesia untuk berobat, bahkan orang-orang yang berkecimpung di bidang kesehatan pun tidak sedikit yang masih berpikir JKN adalah penyediaan pengobatan yang notabene nya berupa upaya kesehatan medis yang dilakukan oleh tenaga medis saja. Jadi wajar apabila akhirnya muncul permasalahan mebludaknya jumlah pasien rawat jalan di beberapa Rumah Sakit daerah di Indonesia, RSU Provinsi Aceh misalnya. Terjadi peningkatan jumlah pasien mencapai 40-60 persen dari jumlah sebelumya dikarenakan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Aceh (serambi Indonesia, 22/07/2013), bukannya tidak mungkin hal ini akan terjadi lagi di era JKN ini.
Ini bukti bahwa ada kesalahan persepsi masyarakat terkait Jaminan Kesehatan yang selama ini diterapkan. Dari hasil salah satu penelitian yang dilakukan oleh Prof Ascobat Gani pada 7 kabupaten/kota di Indonesia juga didapat bahwa selama ini belanja kesehatan di kabupaten untuk UKP berupa pelayanan rawat jalan, inap dan rujukan menyedot biaya paling banyak yaitu mencapai 32-66%, hanya 3-12% saja yang digunakan untuk UKM.
Hal ini disayangkan mengingat riwayat penyakit dimulai dari fase prepatogenesis yang masih memungkinkan untuk dilakukan upaya preventif dan promotif. Misalnya, pada kasus peningkatan kadar kolestrol dalam tubuh sesorang yang dapat diatasi dengan melakukan upaya promosi dan preventif berupa penyuluhan pola hidup sehat. Sehingga akhirnya risiko penyakit akibat peningkatan kolestrol ini bisa dihindari.
SDM untuk UKM
Sebenarnya Pemerintah telah menegaskan pelaksanaan UKM di era JKN ini dengan melakukan perubahan strukturisasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan di kabupaten/kota. Di dalam SPM kesehatan yang baru ini terjadi perubahan substansi pelayanan yang menekankan kepada pelayanan promosi dan preventif.
Maka, mengingat penerapan SPM kesehatan ini kedapan sudah selayaknya pengambil kebijakan kesehatan (health policy maker) memberikan perhatian yang lebih intens terhadap tiga hal yang paling utama terkait pelaksanaan UKM di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah khususnya Puskesmas yaitu terkait permasalahan kualitas, kuantitas dan kesejahteraan dari SDM kesehatan bidang promosi dan preventif ini.
Pertama, berbicara masalah kualitas atau mutu SDM kesehatan tidak bisa terlepas dari permasalahan registrasi, sertifikasi dan uji kompetensi. Ketiga hal tersebut dibutuhkan guna mendorong peningkatan pengetahuan dan ketrampilan tenga kesehatan khususnya bidang preventif dan promosi di Puskesmas.
Peraturan yang membahas tentang standar profesi untuk segenap jenis tenaga kesehatan termasuk tenaga kesehatan promosi dan preventif salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang tentang tenaga kesehatan yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu. Namun, dalam perkembangannya, RUU ini mendapat kritikan dari banyak pihak termasuk kritikan keras dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) (kompas.com, 11/09/2014). Menurut IDI, dalam RUU tenaga kesehatan ini masih terdapat kerancuan dalam hal pengaturan uji kompetensi bagi semua tenaga kesehatan karena uji kompotensi nya masih mengadopsi sistem uji kompetensi yang berlaku bagi tenaga profesi. Sedangkan menurut IDI beberapa tenaga kesehatan non medis seperti tenaga promosi kesehatan dan ilmu prilaku, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan tidak bisa dikategorikan sebagai profesi. Profesi menurutnya didentikkan dengan pekerjaan yang memiliki kode etik, memiliki asosiasi profesi serta sertifikasi khusus.
Fenomena tentang RUU tenaga kesehatan ini dapat diibaratkan layaknya dua ujung mata pisau, bagian satunya, RUU dilaksanakan akan berfungsi untuk mengakui keberadaan tenaga kesehatan non medis yang sangat penting untuk peningkatan kualitas SDM kesahatan promosi dan preventif nantinya, namun di sisi lain RUU ini juga menimbulkan kerancuan-kerancuan.
Dikarenakan hal tersebut, perlu adanya kejelasan mengenai RUU tersebut, Ketua Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI Edde Surya Dermawan ikut mengusulkan agar Kementrian Kesehatan mau memfasilitasi perwakilan dari seluruh tenaga kesehatan untuk berkumpul guna menata ulang sistem aturan tenaga kesehatan ini agar bisa saling sinergis dan selaras antara profesi tenaga kesehatan UKP dan UKM.
Kedua, permasalahan terkait kuantitas atau jumlah tenaga kesehatan untuk UKM. Dalam salah satu policy brief tentang distribusi tenaga kesehatan disebutkan bahwa pelaksanaan Jaminan Kesehatan sebelum JKN seperti Jamkesmas maupun Askeskin meskipun telah berhasil meningkatkan jumlah dokter namun jumlah tenaga kesehatan non medis untuk UKM di Puskesmas masih sangat minim. Hal ini berakibat buruk, salah satunya dapat dilihat dengan tingginya proporsi bayi pendek di NTT dibandingkan di Jakarta yang segala akses untuk usaha kesehatan gizi lebih mudah didapatkan (Riskesdas, 2013).