Mohon tunggu...
Hanifah Fitri
Hanifah Fitri Mohon Tunggu... Administrasi - Self Improvement

Tips Pengembangan Diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Pergi Untuk Kembali

22 Mei 2020   14:17 Diperbarui: 23 Mei 2020   05:40 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fyi, cerpen ini adalah cerpen yang aku buat kelas XI atau 3 tahun yang lalu. Saat aku terfikir untuk menguploadnya di sini tidak ada keinginan untuk mengeditnya sedikitpun. Karena pasti akan banyak perubahan jika aku memaksakan diri untuk mengeditnya. Faktor utamanya adalah kemungkinan rasa tidak puas terhadap tulisanku sendiri wkw, so this is it!!!!!!!!!

Pergi untuk kembali

Oleh Hanifah Fitri

Menyimpan cinta yang belum sepantasnya merekah adalah sebuah keutamaan untuk menjauhkan diri dari fitnah, sekalipun cinta adalah fitrah. Setidaknya langkah kecil ini yang bisa aku lakukan untuk saat ini. Sejauh kamu bukan oksigen, aku masih bisa hidup tanpa kamu. Jangan kira ini hal yang mudah. 

Harus terlihat ceria saat hati ini teramat sesak, menahan kerinduan ingin jumpa atau harus tersenyum saat melihat kamu tertawa lepas dengan dia. Membungkam mulut rapat-rapat meski beribu kata ingin terucap. Sejauh apapun kita berpisah pasti akan didekatkan diwaktu yang tepat dan dipertemukan dengan alasan yang hebat bila sudah ditakdirkan bersatu namun sekuat apapun kita mendekat bila tidak ditakdirkan tidak akan pernah bersatu. 

Percayalah, janji Tuhan itu pasti. Jangan pernah berpikir seolah-olah kamu yang tersakiti di sini. Ya Rabb, maafkan aku karena hingga saat ini aku masih menyimpan rasa untuk dia.

                                                                        **

Namaku Hana Sasmita, aku duduk dibangku SMA. Tepatnya Xipa3 SMA Harapan Bangsa. Bisa dibilang aku murid yang beruntung karena bisa menjadi salah satu murid disini. Lebih beruntung lagi aku mengambil kelas ipa, padahal dari dulu nilai eksakku biasa-biasa saja. Kalau ada yang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah mungkin itu benar, tapi bagiku masa remaja adalah masa dimana kita dituntun dewasa tetapi diperlakukan seperti anak kecil. 

Harus tertawa bahagia di depan umum seolah-olah hidup hanya penuh kesenangan semata lalu harus terisak tanpa seorang pun tahu saat malam tiba. Iya bukan?

Malam selalu berteman dengan kesendirian. Ia ciptakan bintang yang bertebaran dilangit untuk meyakinkan bahwa kita tak benar-benar sendiri. Ia hadirkan rembulan yang tersenyum menyapa bahwa setelah tangis kita harus tersenyum. Ia kirim angin untuk membelai lembut, wajah kita yang basah oleh tetes-tetes air mata.

Hampir setiap aku membaca komentar di blog yang aku tulis, aku mendapati banyak remaja yang mencurahkan isi hatinya, kekesalan karena pacarnya. Aku sengaja mengangkat kehidupan cinta remaja untuk menarik perhatian pembaca. Seperti seorang yang berpengalaman dalam hal cinta aku sedikit memberi saran kepada mereka. 

Setidaknya aku belajar dari pengalaman teman-temanku, pengalaman diri sendiri, belajar dari melihat fenomena masalah percintaan yang sekarang bukan hal yang tabu untuk diperbincangan. Bahkan banyak diantara kita yang menjadikannya meme untuk sekedar menyindir atau menghibur banyak orang di social media.

"Han, kenapa lo senyum-senyum sendiri?" Tanya Mita teman sebangku yang baru datang dari kantin.

"Hmm udah lama nggak buka blog gara-gara banyak kegiatan di sekolah eh pas buka udah banyak aja nih yang curhat di kolom komentar"

"Han, gue tau kasih saran buat orang yang lagi ada masalah itu baik, tapi liat kenyataan dong han, masalah lo aja ada di depan mata"

"Mit, jujur lebih baik gue kasih saran buat orang lain daripada ngadepin masalah sendiri. Rasanya tuh kaya ada seneng sekaligus bangga kalo bisa kasih saran buat orang lain. Masalah gue? Bikin pusing"

"Pulang sekolah ditunggu kak Andre di lapangan basket"

"Maksud lo?"

"Tau deh"

"Gue capek Mit..." belum sempat aku melanjutkan perkataanku ibu Indri masuk kelas dengan suara khasnya.

"Selamat siang anak-anak, seperti janji ibu minggu lalu hari ini kita mempresentasikan tugas yang sudah kalian kerjakan"

Jarum jam menunjukkan pukul 13.05 rasanya detik demi detik berjalan begitu lambat. Pikiranku tak karuan memikirkan kak Andre. Beribu pertanyaan menggantung dipikiranku, kenapa dia ingin menemuiku? Ada sesuatu apa lagi yang ingin dibicarakan? Hati ini teramat gelisah berkali-kali aku melirik jam di dinding. Akhirnya bel pulang sekolah yang sudah dirindukan siswa-siswi berbunyi. Bu Indri mengakhiri pelajaran hari ini.

"Sampai di sini pertemuan kali ini, mohon maaf apabila ada perkataan ibu yang kurang berkenan di hati kalian. Hana silakan temui saya di ruang guru."

"Hah.. iya baik bu"

"Buktikan kalo hati lo lebih besar daripada ego lo Han, temui kak Andre. Gue pulang duluan. See you.." ucap Mita sebelum meninggalkanku.

Langkahku terasa berat menuju ruang guru. Kenapa bu Indri memanggilku? Ada masalah apa?

"Permisi bu.."

"Iya Han, silakan duduk"

"Ada apa ya bu? Ibu memanggil saya kesini. Apakah kesalahan saya begitu berat?"

"Hana, ibu ini wali kelasmu. Akhir-akhir ini kamu terlihat murung, apa ada masalah yang sedang kamu hadapi? ibu tau kamu anak yang aktif sebagai bloger, ibu juga mengikuti blog kamu. Ibu memperhatikan setiap kegiatan murid didik ibu"

"Hana tak apa-apa bu"

"Kenapa blog kamu akhir-akhir ini berisi kisah perpisahan dengan kekasih? Apa kamu..?"

"Maaf ibu, itu hanya tulisan untuk menginspirasi orang lain. Jika semua tulisanku mewakili perasaanku dan itu menjadi masalah buatku, kapan aku maju? Jika ibu berpikir seperti itu, besok aku tidak akan menulis tentang kisah sedih. Tahukan ibu? Itu akan menghambat bakatku menulis" kalimatku terdengar logis, aku biasa berkhayal, aku biasa menulis jadi untuk sekedar menutupi kebenaran aku cukup bisa. Meski dalam hatiku mengiyakan semua tulisanku adalah terinspirasi dari masalahku sendiri.

"Hana.." suara lembut bu Indri dan sentuhan tangan yang menggenggam tanganku membuat hatiku tak karuan. Tanpa permisi air mataku mengalir melewati pipi. Aku menundukkan wajahku agar bu Indri tak melihat air mataku. Namun percuma, tangan bu Indri mengangkat dagu ku dan mengusap air mataku. Khas sentuhan seorang ibu. Bu Indri beranjak dari kursinya dan menghampiriku lalu memelukku erat. Mulutku bisa berbohong tapi hati dan mataku tak sanggup menutupinya. Sambil mengusap kepalaku dia berbisik.

"Jika masalahmu sebesar kapal, yakinlah rahmat Tuhan seluas lautan.."

"Ibu.."

"Kamu tak perlu menceritakan sekarang keluarkanlah air matamu sampai kamu tenang. Ibu disini"

Sudah lama aku tak merasakan belaian seorang ibu. Ayah dan ibuku sudah berpisah sejak beberapa tahun lalu. Ayah pergi entah kemana sama seperti ibu yang memilih meninggalkan aku tinggal bersama nenek. Tapi aku lebih memilih menempati rumah peninggalan ayah-ibu bersama kakak laki-lakiku.

Aku bukanlah abg labil, aku harus menyelesaikan masalah ini. Aku harus menemui kak Andre sekarang. Kata Mita, kak Andre menungguku di lapangan basket. Semoga dia masih disana sekarang. Setelah meyakinkan bu Indri bahwa aku baik-baik saja dan akan segera pulang karena sudah dijemput kak Taufan kakak lelakiku, aku langsung berlari menuju lapangan basket. Sesampainya disana melihat kak Andre kakiku terasa gemetar, langkahku lunglai dan brug..

badanku jatuh dipelukan lelaki yang lebih tinggi dariku, aku tak melihat dari mana arah datangnya karena yang aku perhatikan hanya kak Andre. Tanpa harus melihat wajahnya aku sudah tau siapa yang menyangga tubuhku agar tidak jatuh ke tanah, dengan mencium aroma tubuhnya saja aku tahu, ia kakakku. Aku kembali terisak dipelukannya. 

Semakin keras menangis semakin erat ia memelukku. Aku merasa dada kakak lelakiku seperti terbakar amarah. Jantungnya berdetak kencang, nafasnya teratur namun lebih cepat dari biasanya. Pelukannya sudah perlahan melonggar. Kedua telapak tangannya sudah mengepal. Aku segera menghapus air mataku. Berkata bahwa aku baik-baik saja. Setelah membujuk kakak lelakiku untuk tidak berbuat onar akhirnya dia mau mengendalikan emosi dan masuk ke dalam mobil.

"Kenapa lo nggak biarin gue tonjok tuh bocah?" kata kak Taufan membuka pembicaraan

"Kita udah putus"

"Lo emang udah putus, tapi dia buat lo nangis dengan secepat itu mendapat cewek lagi. Gue nggak terima adik gue digituin"

"Kak.. semua ini pilihan yang baik, aku yang memutuskan untuk mengakhiri semua ini"

"Hana. Dia kakak kelas lo, seharusnya dia lebih dewasa dan bisa jaga perasaan lo"

Kak Taufan mengerem mobilnya mendadak dan membuat tubuhku terbanting kedepan, untungnya aku sudah memakai sabuk pengaman.

"Seharusnya dia menghargai alasan lo mutusin dia" kak Taufan terlihat frustasi dengan kalimat yang diucapkan tadi kepadaku.

"Dia tidak tahu alasan itu kak" kataku dalam hati.

Aku hanya terdiam. Setelah emosinya perlahan hilang kami melanjutkan perjalanan pulang. Setelah bersih diri dan shalat maghrib aku merebahkan tubuhku di kasurku. Mencoba memejamkan mata dan mencoba melupakan masalah tadi. Ponselku bergetar, ku lihat notif ada pesan masuk dari kak Andre.

=Aku nunggu lama di lapangan basket tapi kamu nggak datang. Aku kangen, apa Mita tak memberi tahu kamu=

=Maaf tadi aku udah dijemput kak Taufan, jadi buru-buru pulang=

=Kak Taufan? Aku juga kangen dengan dia, kapan boleh main?=

Aku sudah lelah dengan sandiwara yang kita mainkan selama ini. Kenapa kamu masih bersikap manis padaku padahal kau tau bahwa aku tahu kamu telah berada dipelukan orang lain. Kuputuskan untuk tidak membalas pesan singkat darimu.

                                                                        **

Keesokan harinya kak Andre menungguku di gerbang sekolah. Aku pura-pura tak melihatnya. Namun saat lewat didepannya pergelangan tanganku ditarik olehnya.

"Aku rindu kamu"

"Maaf nanti pacar kamu liat bisa salah paham"

"Dia tahu aku masih cinta kamu"

"Kamu jahat, wanita mana yang tak cemburu melihat pacarnya bersama orang lain"

"Siapa yang jahat? Aku atau kamu? Meninggalkan aku tanpa alasan saat aku sangat menyayangi kamu..."

"Cukup!"

Aku tak sanggup mendengar ucapannya. Hatiku seperti tersambar petir disiang bolong. Kedua bola mataku memanas, ku beranikan diri menatap matanya meski tetes air mata telah membanjiri pipi. Semenjak putus aku memang tak menjelaskan secara gamblang apa alasanku memutuskannya. Aku tak ingin menyakiti hatinya. Daripada dia bertanya-tanya mungkin ini sudah saatnya.

"Cinta itu fitrah, tapi waktu kita salah. Aku menuliskan namamu dalam hatiku tapi aku lupa bahwa ada yang lebih dahulu tinggal disana. Dia yang terlebih dahulu ada disisiku. Dia yang selalu aku lupakan saat bersamamu. Aku malu. Aku malu karena Dia selalu sempurna mencintaiku sedangkan aku? aku malah menduakannya. Tahukah kamu? Aku menyakitinya, Dia sangat cemburu melihat aku dan kamu. Dia sangat pencemburu, tapi Dia memaafkan aku saat aku ingin kembali pada-Nya. Tolong biarkan aku menebus rasa bersalahku pada-Nya. Jangan kira hanya kau yang terluka tapi jika aku terus bersamamu akan banyak yang lebih terluka. Aku tidak bodoh kak. Sebelum bersamaku kau lebih dulu bersama dengan Kak Cika, lihat dia kak. Setelah aku pergi dari kamu kak Cika ingin kembali bersamamu bukan? Aku cinta kau pun cinta. Tapi biarkan aku menyempurnakan cintaku kepada sang pemilik hati. Aku kembali pada-Nya, kau kembali padanya. Semua adil. Aku sadar semua salahku maaf."

Setelah mengungkapkan semua itu sepertinya utangku padamu sudah terbayar. Semoga kamu bahagia dengan kak Cika, aku putus dengan kamu dengan adanya alasan. Tidak seperti yang selalu kamu pertanyakan "kenapa kita putus tanpa alasan?"

Lagi-lagi aku beruntung, mempunyai sahabat seperti Mita sebagai pendengar yang baik. Memiliki ibu Indri yang selalu sabar menasehatiku dengan kalimatnya yang menyejukkan hati dan kak Taufan yang selalu melindungiku. Mereka penyemangatku dalam menggapai rida-Nya.

Banyak hal yang harus aku lalui setelah memutuskan berpisah darimu. Mencoba bangkit demi Dia sang pemilik hati. Harus ada perjuangan untuk mendapat kado indah dari-Nya. Meski dengan sekeping hati tersisa berjuang merangkak mencintai-Nya. Aku merasa hatiku utuh kembali setelah mencintai-Nya. Aku merasa hatiku lebih tegar setelah mencintai-Nya. 

                                                                                                            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun