Papua dikenal sebagai sumber daya alam melimpah yang dapat mensejahterakan masyarakatnya, namun ironi sumber daya alam justru tidak banyak dinikmati oleh anak negri Papua.Â
Selain itu, kini Papua masih memasuki persentase penduduk termiskin di Indonesia pada tahun 2023, yaitu Papua 26,03%, sedangkan Papua Barat 20,49% (Sumber: Badan Pusat Statistik 2023). Pemerintah pun meggencarkan pembangunan untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat tanah Papua melalui Dana Otonomi Khusus (DOK).Â
Provinsi Papua dinyatakan sebagai daerah otonomi khusus sejak tahun 2002 setelah disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.Â
Dana ini dirancang khusus untuk memastikan bahwa daerah-daerah dengan karakteristik unik, seperti Papua, dapat mengatasi tantangan pembangunan dengan lebih efektif melalui 4 pilar pembangunan, yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan infrastruktur yang masih memprihatinkan. Terutama, akses pelayanan publik dan infrastruktur dasar pun sangat butuh perhatian khusus, sehingga memerlukan peningkatan yang lebih baik.
Untuk itu, dengan melalui penerapan strategi optimalisasi dana otonomi khusus menjadi topik yang sangat penting, khususnya dalam pemanfaatan peningkatan yang secara maksimal.Â
Salah satu tantangan besar dalam pemanfaatan dana ini secara optimal adalah memastikan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaannya. Peningkatan kapasitas aparat daerah melalui pelatihan pengelolaan keuangan, dapat menjadi cara yang efektif untuk memberdayakan pejabat pemerintah daerah dalam mengoptimalkan penggunaan dana otonomi khusus di Papua.Â
Selain itu, pemetaan kebutuhan prioritas menjadi pilar kesejahteraan penduduk Papua dengan melalui konsultasi yang dapat dilakukan melalui pertemuan, wawancara, atau survei untuk memahami aspirasi dan pandangan masyarakat, serta melibatkan masyarakat dalam acara musrenbang guna mencapai permintaannya kepada pemerintah, namun melalui otonomi khusus atau transfer uang daerah masih minim dirasakan. Peneliti LIPI, menilai tidak maksimalnya program otonomi khusus disebabkan lemahnya tata kelola, evaluasi, serta pendampingan dari pemerintah pusat.Â
Dengan demikian, pembangunan di Papua tidak akan maksimal jika pemerintah hanya mengedepankan pembangunan tanpa memikirkan revolusi konflik. Sehingga, pentingnya partisipasi masyarakat dalam optimalisasi penggunaan dana otonomi khusus di Papua untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.
Melalui faktanya, program otonomi khusus Papua berakhir pada tahun 2021 lalu, namun dengan tujuan mensejahterakan masyarakat yang belum terwujud. Maka, pemerintah memperpanjang program otonomi khusus hingga tahun 2041 lewat revisi UU No.21 Tahun 2001. Otonomi khusus jilid 2 memiliki 3 fokus besar, yakni papua sehat, papua cerdas, dan papua produktif. UU otonomi khusus jilid 2 merevisi 18 pasal dan menambahkan 2 pasal baru.Â
Dana otonomi khusus naik menjadi 2,25% melalui dana alokasi umum nasional, tetapi pencairan dana diperketat dan dibagi dua bagian, yaitu 1% block grant untuk urusan umum pembangunan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pelayanan publik, sedangkan 1,25% specific grant untuk kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.Â
Serta, dibentuknya badan khusus percepatan pembangunan Papua yang diketuai oleh Wakil Presiden. Bersamaan dengan revisi UU otonomi khusus tumbuhnya harapan baru dengan pembiayaan dapat difokuskan untuk mengembangkan sumber daya manusia asli Papua, salah satunya melalui pemenuhan tenaga ahli kesehatan yang masih sangat minim.