Mohon tunggu...
Hanifah Nurdin
Hanifah Nurdin Mohon Tunggu... Dosen - Menemukan Kebahagian dengan Memperbanyak Syukur

Suka ngopi, kuliner, kumpul dengan teman dan pendengar yang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumoh Aceh

28 Januari 2015   21:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:12 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Reza hidup seorang diri setelah Ibunya meninggal dua tahun yang lalu, sedangkan ayahnya meninggal saat Tsunami 26 Desember 2004. Reza tidak memiliki adik dan kakak, ia hanya memiliki seorang abang bernama Ikram. Ikram tiga tahun lebih tua dari Reza. Ikram telah menikah dan tinggal di rumah isterinya. Dan Reza sangat menikmati hidupnya. Apalagi hidup sendiri di rumoh Aceh yang bernilai sejarah tinggi.

Reza memang sangat mencintai rumoh Aceh. Rumah itu mempunyai nilai sejarah dalam keluarga mereka. Reza berniat akan mempertahankan rumoh Aceh itu, walau terkesan kuno tetapi memiliki nilai jual yang tinggi.Lagi pula rumoh Aceh cocok untuk daerah beriklim tropis, saat panas menerpa daun rumbia yang dipakai sebagai atap mampu meredam panas. Ketika dingin menyelimuti struktur kayu yang digunakan sebagai dinding juga mampu menyerap dingin dan menebarkan  hawa hangat. Reza telah memodifikasi rumoh Aceh itu dengan perabotan yang sedemikian rupa. Di bagian seuramoe keue (serambi depan) ada kursi jepara dengan karpet bulu yang hangat, Reza maksimalkan fungsinya sebagai area untuk menerima tamu-tamu yang datang.  Di seuramoe teungoh (serambi tengah) yang tingginya dinaikkan beberapa centimeter terdapat kamar tidur utama sebagai kamar tidur Reza (dulunya kamar tidur oramg tuanya), di depannya terdapat rambat dan di fungsikan sebagai ruang kerja. Sedangkan seuramoe likot (serambi belakang) dia berikan ornament berwarna sedikit terang, dengan perabotan secukupnya dan di sisi timur dia membangun sebuah kamar mandi agar memudahkan Reza jika sewaktu-waktu pada malam hari dia ingin ke kamar mandi. Karena pada dasarnya rumoh Aceh tidak memiliki kamar mandi di dalam rumah karena menghindari adanya najis. Ini disebabkan rumoh aceh tidak hanya berfungsi sebagai rumah tinggal tetapi juga sebagai tempat beribadah sehingga harus terhindar dari najis.  Di bagian kolong rumah Reza mendesain kolong tersebut dengan bangku panjang yang terbuat dari bambu, sehingga ketika pulang kerja dan merasa penat dia dapat beristirahat dengan maksimal karena telah memaksimalkan fungsi rumoh Aceh itu sendiri.

Reza benar-benar menghargai pemberian dari orang tuanya, dia merawat dan memperhatikan rumah tersebut dengan sangat baik. Karena perlakuan Reza terhadap rumoh Aceh sangat istimewa, ini mengundang mata para pecinta rumah tradisional untuk memilikinya. Salah satunya adalah Pak Zul. Pak Zul adalah patner bisnis Ikram yang pernah di boyong Ikram ke rumah tersebut untuk sekedar melihat-lihat rumah peninggalan ayah dan ibunya. Rumah itu kini berusia 100 tahun, rumah turun temurun itu pernah menjadi saksi kekejaman perang Aceh seperti perang DI/TII, GAM-RI, dan berujung dengan di hempas oleh tsunami 26 Desember 2004 lalu. Tetapi kekokohan rumoh Aceh itu seolah menggambarkan kekokohan seorang Reza yang berdarah Aceh.

Pak Zul telah beberapa kali mengunjungi rumah itu tanpa sepengetahuan Reza, dia juga mengambil gambar dari sisi depan, belakang, samping kiri dan kanan tak lupa juga dia memotret ukiran-ukiran bunga, daun, burung merak di dinding rumah tersebut. Beberapa kali ia juga mengabadikan foto dirinya dengan rumoh Aceh itu di tangga depan, di kolong rumah, di halaman depan dan perspektif. Tetapi Pak Zul belum mendapatkan foto ornament di dalam rumah. Dia berniat untuk kembali pada hari Minggu agar bertemu Reza dan meminta izin untuk mengabadikan foto-foto di dalam rumahnya itu. Pak Zul yang dulu hanya senang menikmati rumah-rumah Tradisional kini telah maniak dan berharap bisa memiliki rumah itu dengan berbagai cara, tak tertutup kemungkinan dengan cara kotor sekalipun.

Hari minggu pun tiba dan Pak Zul telah mantap dengan camera raksasanya datang ke rumah Reza dan mengabadikan seluruh sudut rumah serta isinya. “Assalamu’alaikum, Reza” panggil Pak Zul dari depan rumah. “ Wa’alaikumsalam Warahmatullahi wabarakatuh” sambil berjalan ke ruang depan dan membukakan pintu. “ Ooo… Pak Zul ternyata, silahkan masuk pak”. Tanpa ada keraguan sedikitpun Pak Zul langsung masuk dan tercengang beberapa detik melihat keindahan dan keAcehan rumah Reza. “Silahkan duduk pak”  membuyarkan lamunan Pak Zul. “Reza.. sebenarnya kedatangan saya kemari ingin memotret-motret isi rumah kamu, dari sejak pertama saya datang kemari dengan Ikram, rumah ini telah membuat saya jatuh cinta. Rumahnya begitu sederhana, lingkungan strategis, fungsinya banyak dan isinya juga sangat luar biasa. Rumah tradisional yang lain yang pernah saya temui seNusantara belum bisa membuat saya segila ini, tetapi rumah kamu ini membuat saya ingin memilikinya” . “Silahkan pak untuk mengabadikan gambar-gambar di sini, saya sama sekali tidak keberatan, tapi jika bapak ingin mengambilnya dari saya, itu saya sendiri jadi taruhannya” tukas Reza sambil tertawa. Pak Zul tidak membalas tawa itu, dia hanya tersenyum saja. Tanpa berincang-bincang lebih lama lagi, Pak Zul segera beranjak dan berfoto ria. Setelah puas dengan hasil jepretan yang didapat Pak Zul pamit pulang. “Terima kasih atas semuanya Za”. “sama-sama Pak. Oh ya pak, jangan lupa untuk datang-datang lagi ya” ucap Reza. “Tentu Reza, tapi nanti saya datang akan bawa keluarga kemari” sambil tersenyum.

Pak Zul yang mengetahui kelemahan ekonomi Ikram memanfaatkan kesempatan ini. Dan hari ini Pak Zul datang untuk menemui Ikram di warung kopi yang telah dijanjikan. “Pak Zul,, sudah lama menunggu?” Tanya Ikram sambil menarik kursi untuk duduk. “Belum, baru beberapa menit saja”. “Sorry pak, saya agak telat karena mengambil ini” sambil menyodorkan sertikat tanah dan rumah. “Baik Ikram, kerjamu sangat bagus, senang berbisnis dengan kamu” sambil membuka sertifikat tanah dan rumah. “Oh ya.. ini 200 juta yang saya janjikan, kalo kamu tidak percaya kamu bisa menghitungnya terlebih dahulu” sambil menyodorkan amplop cokelat kedepan Ikram. “ Sekarang kamu laki-laki sejati yang akan menwujudkan keinginan isterimu untuk membeli mobil mewah bukan?, uang sebanyak itu tidak akan kamu dapatkan walaupun kamu bekerja 100 tahun lamanya” ucap Pak Zul sambil terus melihat sertifikat tanah tersebut. “Jadi kapan kamu akan mengantar saya secara resmi ke rumah impian saya itu?” tegas pak Zul. “Besok pagi pak jam 10, Reza pasti sudah pergi mengajar” ucap Ikram dengan serius. “Ok”.

***

“Assalamu’alikum warahmatullah, Assalamu’alaikum warahmatullah”  setelah mengucapkan kedua salam Reza meneruskan membaca Al-Matsurat di pagi hari, melanjutkan dengan membaca surah Ad-Dzuha. Reza begitu khusyu’ dalam zikirnya, sampai-sampai ia tak mendengar ada suara mobil di luar rumahnya.

Tanpa ada keraguan, Ikram membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang dimilikinya. Ikram masuk ke rumah dan melihat adiknya sedang bermunajat kepada Allah Yang Maha Esa di pagi hari. Ikram menegurnya, “Reza… Aku membawa Pak Zul dan keluarga untuk tinggal di sini, kamu pindah ke rumah abang, di sana ada dua kamar kosong dan kamu bisa menempati salah satu dari kamar itu yang kau suka” . Reza yang mendengar langsung tercengang seolah tak percaya kalau abangnya akan berbuat sejauh itu. “Apa yang abang lakukan dengan rumah ini, sehingga aku harus pindah ke rumah abang? Apa abang menjualnya kepada pak Zul?” menatap Ikram.

“Reza” Panggil Pak Zul sambil masuk dengan keluarga. “Aku sudah pernah bilang kan, kalo nanti aku akan kembali kemari dengan keluarga? Jadi sekarang aku membawa keluargaku dan aku menempati janjiku bukan?” sambil tersenyum.  “Dan sekarang apa yang bisa kau lakukan?” Pak Zul menantang.

“Abang, berapa jumlah rupiah yang Pak Zul berikan sehingga abang menukarnya dengan rumah ini?” Tanya Reza memastikan. “Reza… untuk apa kau pertahankan rumoh Aceh ini? Berkat Pak Zul rumoh Aceh ini menjadi berharga, tapi berkat kau, aku tidakmendapatkan untung apa-apa”. “Kau akan aku beri seperempat dari uang itu Reza, kau bisa membeli mobil, rumah yang lebih bagus dari ini”. Ucap Ikram. “Aku tidak mau uang itu, kamu terlalu bodoh bang mau menukar rumoh Aceh ini dengan uang itu, kamu abang terburuk yang pernah aku punya” ucap Reza dengan nada tinggi. “Sekarang cepat kamu bereskan semua barang-barangmu dan pergi dari sini, aku tak akan membagi uang itu sedikitpun untukmu” Nada yang tak kalah tinggi dari Reza.

“Abang, tidakkah abang mengingat di sudut tangga itu kita pernah bercanda dengan ayah? Membicarakan masa depan kita? Tidak kah abang mengingat tawa ayah di seuramoe keue (serambi depan) sambil menunggu abang pulang untuk melihat rapor dengan peringkat satu yang abang peroleh di sekolah? Tidakkah abang ingat di kamar itu, ayah selalu menaburkan bedak di punggungmu sebelum kamu tidur? Tidakkah abang ingat ayah menggendongmu ke sumur untuk memandikanmu? Tidakkah abang ingat ibu, di dapur sana yang selalu memasak keumamah kesukaanmu untuk bisa di bawa kesekolah? Tidakkah abang ingat ibu membuat timphan di dekat meja itu hanya untukmu? Tidakkah abang ingat ibu memasak kacang hijau dengan kayu di dapur itu saat kamu sakit? Tidakkah abang mengingat semua itu?” Ucap Reza sambil terisak.

Sesaat setelah mendengar itu, Ikram ambruk ke lantai dan menangis mengingat itu semua. “Karena alasan itu bang, aku tidak ingin semua kenangan itu hilang, kenangan itu terjual dan tenggelam dengan uang-uang. aku ingin selalu mengingat mereka yang menyayangiku, merawatku, memanjakanku, juga kamu, tidak akan tergantikan nilai itu dengan sebanyak apapun uang yang akan diberikan kepadaku, walaupun sekalipun orang itu menjamin kehidupanku  hingga aku mati, tapi mereka tidak bisa menjamin kenangan itu untukku. Rumoh Aceh ini adalah identitas kita bang, harta termahal yang pernah kita miliki, kenangan manis dan pahit yang pernah kita lalui, bersama-sama dengan ayah dan ibu di rumoh Aceh ini” tegas Reza. Ikram merasa kelu, seluruh tubuhnya terasa lumpuh, ia bagaikan tersadar dari godaan syaitan yang selama ini merasuk tubuhnya, memperdayakannya dengan pundi-pundi rupiah berwarna merah. Ikram merasa bersalah kepada kedua orang tuanya, sepintas terlihat wajah mereka yang lesu. Ikram tersadar “Ayah, Ibu maafkan Ikram.” Sambil terisak.

“Ayah… kembalikan saja rumah ini pada pemiliknya, kita tidak berhak memiliki kenangan mereka, harganya terlalu mahal untuk mereka dan terlalu murah untuk kita. Dan kita akan sangat murahan jika kita merampasnya dengan paksa. Mereka orang yang ingin mempertahankan identitas mereka, harga diri mereka, marwah mereka, budaya mereka dan kita akan sangat kejam jika menukar semua itu dengan uang” Ucap Rina anak Pak Zul. Mendengar kata bijak itu, Pak Zul yang dulunya maniak dengan rumoh Aceh seketika menjadi meleleh. Dia datang menghampiri Reza dan berkata “Reza… maafkan Aku dan Ikram, ini bukan salah Ikram tapi akulah yang meminta dia untuk menjual rumah ini untukku karena aku begitu menyukai rumoh Aceh ini. Aku yang egois, aku yang telah menghancurkan kenangan kalian, hubungan kalian. Dengan kebaikan hatimu, dan dengan seluruh kerendahan hatimu, aku memohon maaf untuk kesalahan yang fatal ini” sambil menangis dan menundukkan kepala. “Maukah kau memaafkan aku dan Ikram?” pinta Pak Zul. Mendengar Pak Zul meminta maaf, Ikram yang sadar langsung datang memeluk adiknya dan meminta maaf sambil terisak. Pak Zul juga sudah tidak kuasa menahan tangisnya langsung berhamburan kepelukan Reza. Sebagai manusia yang diajari kerendahan hati untuk memaafkan manusia lain oleh kedua orang tuanya dengan ikhlas memaafkan keduanya. “Aku  memaafkan kalian untuk ayah dan ibu” ucap Reza sambil memejamkan mata.

Dilubuk hati yang terdalam, Reza bermunajat kepada Allah supaya diberikan keutuhan hati, jiwa untuk menjaga identitas dirinya, harga dirinya, tanah hitam negerinya, laut birunya, rumoh Acehnya, budayanya, bahasanya agar tak tertukar oleh apapun yang akan menghancurkannya. Rumoh Aceh kau akan terus hidup walaupun aku telah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun