Mohon tunggu...
Hanif Afif Naufal
Hanif Afif Naufal Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa FEB UNS Angkatan 2016

Penerima Manfaat Beasiswa Rumah Kepemimpinan Angkatan 9 IG: hanifafifnauf

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Nasib Buruh Online

2 Juni 2019   14:22 Diperbarui: 2 Juni 2019   14:28 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Pekerja informal identik dengan kurangnya jaminan sosial seperti yang tertuang dalam pasal 3 ayat 2 UU No 32 tahun 1992 tentang Jamsostek seharusnya setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi kecelakaan kerja yang pada akhirnya korban tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja.

Sekitar 30 persen ojek online menghabiskan waktu untuk bekerja lebih dari 8 jam per hari. Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan apabila bekerja lebih dari 40 jam per pekan dianggap sebagai jam kerja yang lama dan dihitung sebagai lembur yang harus dibayarkan oleh perusahaan karena merupakan hak buruh atau pekerja yang dilindungi oleh Undang-Undang.

Perusahaan ojek online yang bersifat hanya sebagai mitra dengan sopir membuat perusahaan bebas dari kewajiban untuk memenuhi upah mininum, uang lembur, jaminan sosial (kesehatan, pensiun, dan ketenagakeraan) dan tunjangan hari raya keagamaan (THR) yang hak-haknya tidak ditanggung penuh oleh perusahaan transportasi online tersebut.

Gap Regulasi Dalam Ojek Online

Hukum yang berkeadilan bukan hanya datang dari langit ataupun kepentingan regulator saja. Aturan hukum yang dibuat dalam ojek online kurang efektif (uneffectiveness of the law) yang disebabkan adanya gap lebar antara pemikiran regulator dengan aktifitas usaha yang berkembang begitu cepat. Keinginan untuk mengembangkan inovasi dan teknologi baru di Indonesia belum diimbangi dengan regulasi yang menaunginya dalam memfasilitasi dan mengakseptasi peranserta dunia usaha, investor, masyarakat, komunitas dan pro kepentingan publik.

Berbagai konflik yang muncul dalam transportasi online disebabkan adanya gap antara kehadiran perusahaan transportasi online tidak dibarengi dengan aturan yang menaunginya, sehingga menciptakan regulatory gap yang cukup besar yang menimbulkan konflik dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu turut andil dalam merumuskan aturan dengan menjaga keseimbangan di antara dua hal. 

Pertama, tata aturan perlu memberikan kepastian dan kenyamanan bagi munculnya techopreneur baru di era ekonomi digital. Kedua, tata aturan juga menjamin hadirnya keadilan bagi setiap pelaku usaha di jasa transportasi baik pengemudi, konsumen maupun penyedia jasa. Dan juga pemerintah perlu adil agar tidak adanya perlakukan istimewa dalampersaingan usaha pada industri transportasi online.

Dengan peringatan hari butuh sedunia, saya berharap para sopir ojek online  tidak luput untuk menjadi perhatian Pemerintah untuk menjamin kesejahteraan yang tegolong baru ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun