Baru-baru ini diperingati hari buruh sedunia pada tanggal 1 Mei 2019, seluruh buruh berkumpul diberbagai pusat kota untuk menyuarakan keadilan kepada Pemerintah. Hari Buruh lahir sebagai bentuk perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis untuk memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja. Permasalahan klasik dari dulu hingga kini seperti minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, dan jaminan sosial melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja. Namun, ada buruh yang luput dari perhatian publik yaitu pekerja ojek online atau sering disingkat ojol yang sering terlihat dibelakang kampus yang sedang menganggur karena sedang menunggu order dari penumpang.
Kemunculan dan Problematika Ojek Online
Pada tahun 2014, masyarakat sama sekali belum families er atas kemunculan transportasi dengan sistem ride-sharing atau Ojek Online (Ojol) seperti Go-Jek, Uber ataupun Grab. Tapi kini, setelah lima tahun berlalu, ekspansi perusahaan-perusahaan teknologi itu tak terbendung.
Perubahan model transportasi dari konvensional ke transportasi berbasis aplikasi sangat diminati masyarakat dan ini merupakan suatu bentuk perubahan sosial masyarakat yang menghendaki kemudahan dalam penggunaan moda transportasi.
Munculnya transportasi berbasis aplikasi menimbulkan konflik di antara pengemudi jasa transportasi konvensional (seperti pengemudi angkot, taksi, bentor, dan ojek pangkalan) dengan pengemudi transportasi online yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi transportasi online dianggap mempermudah pengemudi dan konsumennya. Disisi lain, transportasi online mendapatkan banyak kecaman dari pengemudi transportasi konvensional karena dianggap sebagai transportasi illegal dan merebut nafkah para pengemudi jasa transportasi konvensional.
Ada beberapa permasalahan yang sering dikeluhkan oleh pengemudi transportasi konvensional terkait dengan beroperasinya transportasi berbasis aplikasi, yakni pertumbuhan driver yang sangat cepat, jaminan social,gagapnya regulasi menghadapi perubahan teknologi, dan konflik tarif. Namun, bagaimana nasib ojek online sekarang?
Pertumbuhan Driver Yang Sangat Cepat
Banyaknya sopir ojek online yang bergabung dikarenakan tergiur dengan tingginya pendapatan rata-rata sopir ojek online saat awal kemunculannya, bahkan menarik pekerja kantoran alih profesi menjadi sopir ojek online. Maka, berbondong-bondong orang untuk menjadi sopir ojek online. Walaupun penumpang ojek online terus tumbuh, tapi kalah cepat dengan pertumbuhan sopir ojek online. Yang tadinya mereka mudah mencari penumpang, namun sekarangmulai sulit mencari penumpang dikarenakan persaingan antar sopir ojek online menjadi lebih ketat.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan menunjukan jumlah pengemudi yang dimiliki satu perusahaan penyedia aplikasi mencapai 175.000 orang, meningkat 9.000 orang dalam 3 minggu, Angka ini juga jauh melampaui kuota 36.510 pengemudi yang ditetapkan. Sehingga, jumlah sopir ojek online menjadi lebih banyak ini juga berdampak pada  waktu tunggu menjadi lebih panjang. Jalan-jalan akan makin dipenuhi oleh ojek online yang dapat dikatakan sebagai setengah menganggur karena terlalu lama menunggu penumpang. Akhirnya ojek online akan menjadi tidak efisien, sama seperti angkot, yang ngetem di mana-mana karena menunggu penumpang terlalu lama.
Jaminan Sosial Ojek Online
Pengemudi ojek online ini masih termasuk ke dalam tenaga kerja sektor informal. Tenaga kerja sektor informal umumnya bekerja di segala jenis pekerjaan dengan tanpa adanya perlindungan negara dan tidak dikenakan pajak.