International Monetary Fund (IMF) lahir dari situasi krisis imperialisme yang semakin memburuk dan telah menghasilkan perang perampasan yang menindas rakyat seluruh dunia. IMF didirikan pada September 1945 setelah ratiikasi kesepakatan Konferensi PBB di Bretton Woods, New Hampshire AS, tahun 1944 yang menyetujui suatu "kerangka kerjasama ekonomi" yang dirancang untuk menghindari terulangnya kebijakan ekonomi buruk yang turut mengakibatkan Depresi Besar (Great Depression) di tahun 1930-an.
Dengan kerangka kerjasama yang berkedok "Stabilitas Ekonomi" tersebut, IMF menyatakan tujuan untuk dapat mendominasi dan mendikte ekonomi dan politik anggota-anggotanya dengan cara:
- Melakukan kontrol atas kerjasama perdagangan dan keuangan internasional untuk kepentingan Negara-negara kapitalis.
- Mengamankan kepentingan pasar dengan stabilitas sistem keuangan dan perdagangan yang timpang untuk kepentingan Negara kapitalisme seperti AS dan Inggris.
- World Bank (WB)
World Bank (WB) atau Bank Dunia merupakan lembaga keuangan atau alat kekuatan oligarki finans (kemaharajaan keuangan) Imperialis yang Kantor Pusat-nya di Washington, D.C., yang juga lahir dari krisis imperialism yang didirikan pada Desember tahun 1944 setelah ratifikasi hasil konferensi Bretton Woods.
WB difungsikan sebagai penyedia pinjaman (hutang dan investasi) kepada negara berkembang, dengan kedok "pengurangan kemiskinan". Seluruh keputusan WB harus diarahkan untuk mempromosikan investasi luar negeri, perdagangan internasional dan memfasilitasi investasi modal. WB bertugas sebagai lembaga lintah darat yang memberi fasilitas pinjaman, bantuan teknis dan lain sebagainya dengan imbal balik liberalism dan privatisasi berbagai asset public.
Kekuatan finans Bank Dunia sendiri ditopang oleh 5 (lima) organisasi anggota group pemilik modalnya, yakni: 1). The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), 2). The International Development Association (IDA), 3). The International Finance Corporation (IFC), 4). The Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA), 5). The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).
Kedua lembaga tersebut telah menunjukkan kejahatannya diseluruh dunia dan Indonesia, diantaranya: Pertama: Menginjak-injak kedaulatan bangsa-bangsa dengan memberikan syarat-syarat yang memaksa agar dapat mempercepat perampasan atas tanah, upah, dan kerja sehingga penghidupan rakyat semakin memburuk. Kedua: Bank Dunia dan IMF memaksakan pelaksanaan model kebijakan ekonomi neoliberalisme yang secara sistematis dengan mempercepat liberalisasi dan privatisasi sehingga semakin memperburuk keadaan ekonomi negeri dan penghidupan rakyat. Bank Dunia dan IMF juga berkontribusi atas munculnya faktor-faktor yang menyebabkan krisis utang di tahun 1982 hingga krisis moneter di Asia tahun 1997an.
Dalam perkembangan saat ini, IMF dan Bank Dunia bahkan berperan semakin aktif dan Agressif mengikat kedaulatan Negara dengan kemudahan utang, melakukan investasi untuk pembiayaan produksi komersil dan pembangunan.
Saat ini, Ambisi IMF-WB 2015-2030 yakni mendorong intensifikasi pembangunan, yang disebut Memaksimalkan Pembiayaan untuk Pembangunan yang ditandatangani oleh Komite Bersama Pembangunan WB: Memanfaatkan Sektor Swasta untuk Pertumbuhan dan Pembangunan Berkelanjutan. Salah satunya adalah Ambisi untuk transformasi keuangan atau pembiayaan untuk pembangunan, yakni Transformasi Keuangan Pembangunan yang menekankan perlunya mengalihkan fokus dari "miliaran" dalam ODA (bantuan resmi untuk pembangunan) ke "triliunan" dalam semua jenis investasi untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) / "From Billions to Trillions" of Official Development Assistance (ODA).
Awal hubungan Indonesia dengan IMF, Era Soekarno
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia di saat pemerintah Soekarno mengalami kesulitan menanggulangi problem ekonomi yang rusak akibat perang kemerdekaan. Indonesia, yang baru bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) --kemudian menjadi Bank Dunia pada 24 Juni 1950.
Pada 15 Agustus 1952 Dewan Gubernur IMF kemudian menyerahkan draft resolusi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Washington. Dalam sidangnya di Mexico City bertanggal 10 September 1952, Dewan Gubernur IMF dan Dewan Gubernur IBRD menyetujui resolusi-resolusi yang memuat peraturan dan syarat-syarat Indonesia menjadi anggota IMF. Indonesia menerima dan menandatangani. Pada pertengahan 1953, Indonesia resmi menjadi anggota. Secara legal, keanggotaan itu disahkan dengan UU No 5/1954.
Pemerintah Indonesia menjadi pasien IMF pertama kali pada Agustus 1956 yang memperoleh pinjaman IMF sebesar US$55 juta karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat. Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara baru yang menghadapi persoalan besar dalam pembangunan infrastruktur dan membutuhkan banyak investasi baru. Apalagi defisit anggaran tahun 1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.
Menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar tujuan dari bantuan IMF dan Bank Dunia adalah membuka pasar lebih luas bagi barang-barang hasil industrinya, memperoleh bahan-bahan mentah dengan harga lebih murah (dengan syarat mata uang negeri penerima bantuan harus didevaluasi), dan memperluas lapangan penanaman modal bagi pemilik-pemilik modal negeri donor dengan jaminan bisa memperoleh keuntungan lebih besar.
Terbukti bahwa pada pertengahan 1961, Presiden Kennedy mengirimkan tim survey yang dipimpin oleh senator Hubert Humphrey untuk mendata kebutuhan-kebutuhan Indonesia. Setelah meneliti langsung, tim menerbitkan laporan pada pertengahan 1962 yang merekomendasikan bantuan Amerika Serikat senilai US$200-235 juta, plus pendanaan multinasional US$125-155 juta. Menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno bahwa tawaran bantuan ini akan terikat dengan serangkaian proposal reformasi ekonomi yang pengawasan dan programnya dibuat oleh IMF.
Pemerintahan Soeharto
Krisis di Indonesia merupakan imbas dari krisis di Thailand. Cara otoritas Thailand pada Mei 1997 menangani spekulan yang menyerang Baht berbuah pahit. Intervensi hingga $10 miliar yang dikeluarkan Bank of Thailand terbukti gagal menghukum para spekulan. Pada 1997, kabar tentang pemerintah mendevaluasi Baht secara drastis menurunkan nilai mata uang tersebut 20 persen. IMF diundang untuk memberikan bantuan.
LOI pertama pada era soherto pada 31 Oktober 1997 setelah memohon bantuan pada IMF untuk memulihkan kepercayaan pasar dan menstabilkan rupiah, Indonesia mendapat paket bantuan $23 miliar. Jika pinjaman IMF tak cukup menstabilkan situasi ekonomi, Jepang dan Singapura berjanji menambah bantuan $3 miliar dan $5 miliar.
Pada 15 Januari 1998 ditandatangani LOI kedua Indonesia menandatangani dokumen Letter of Intent (LOI) dan IMF menyepakati kucuran dana yang berdampak sistematis meliberalisasi berbagai sektor strategis di Indonesia, mulai dari pengelolaan APBN, perbankan, penanaman modal, sector migas, sector pertambangan, pencabutan monopoli Bulog dan segala privatisasi. Dua bulan kemudian, IMF mengumumkan menunda turunnya bantuan $3 miliar dengan alasan Indonesia belum memenuhi sejumlah persyaratan.
Penandatangan LOI ketiga pada April 1998 untuk memperbaiki strategi dalam penyelesaian utang swasta yang merupakan salah satu penyebab utam gejolak kurs. Salah satu poin dalam LoI kali ini juga adalah pengurangan subsidi energi secara gradual. Maka, pada 4 Mei 1998, harga BBM di Indonesia dinaikkan sebesar 71,43%, dari Rp700 per liter menjadi Rp1.200 per liter. Menaikkan harga BBM, yang akan berpengaruh kepada ongkos distribusi dan pada akhirnya harga kebutuhan pokok, saat daya beli rakyat sudah sangat anjlok, tentu bukanlah hal yang bijak. Demonstrasi pun terjadi di beberapa kota besar di Indonesia pada Mei 1998, seperti Jakarta, Bandung, Medan, Solo, dan Yogyakarta.
Pemerintahan BJ HabibieÂ
Pada bulan Juli 1998, persetujuan Letter of Intent (LOI) pertama dan terakhir pada zaman Habiebie untuk program bantuan IMF yang disetujui, dan kali ini melibatkan strategi restrukturisasi korporasi serta program restrukturisasi perbankan yang lebih luas. Namun, pada periode Habibie, terdapat skandal Bank Bali. Pemerintah menolak mengumumkan hasil audit Bank Bali kepada publik, seperti diminta IMF, yang berakibat penghentian sementara program IMF pada September 1999.
Program IMF sangat penting demi mendukung agenda ekonomi yang terstruktur, di tengah periode pemerintahan yang cenderung kacau dan sering berganti-ganti. Program tersebut juga mensyaratkan sejumlah reformasi yang diarahkan untuk memperkuat kerangka institusional dalam rangka menjamin transparansi, persaingan yang sehat, serta kerangka hukum dan regulasi yang lebih kuat. Termasuk dalam langkah tersebut adalah reformasi untuk menata ulang sistem kepailitan, serta pendirian Pengadilan Niaga. Inisiatif lainnya adalah penerbitan UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (hukum persaingan) pada Maret 1999, serta pemberian status independen Bank Indonesia yang diamanatkan melalui UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia.
Pada era B.J Habibie, Presiden AS Bill Clinton memotong bantuan militer untuk Indonesia. Hal tersebut membuat IMF bereaksi serupa dalam menunda pinjaman setelah terjadi kekerasan pasca referendum di Timor Timur. Bantuan tersebut merupakan sisa bantuan dari paket kebijakan SAP dari IMF yang belum diberikan kepada Indonesia. Reaksi yang diberikan oleh Clinton secara langsung mempengaruhi IMF dikarenakan AS merupakan penyumbang dana utama IMF. Hubungan IMF dan Indonesia di era Gus Dur juga semakin memburuk ketika dirinya menolak resep ekonomi IMF. IMF menunda pencairan dana akibat belum tuntasnya revisi sejumlah UU tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001.
Pemerintahan Gus Dur
Kesepakatan baru IMF dengan Indonesia setelah penadatangan LOI pada Januari 2000. Kesepakatan baru ini sangat ambisius karena berisi daftar panjang langkah-langkah perombakan struktural ekonomi yang kompleks. IMF maupun pemerintah mengabaikan batas-batas kapasitas pemerintah untuk melaksanakannya. Kesenjangan antara apa yang telah disepakati dengan yang dijalankan membuat kepercayaan para pelaku ekonomi menurun.
Presiden Gus Dur terjerat oleh beberapa permasalahan governance, termasuk skandal Bulog yang menyebabkan turunnya beliau dari jabatannya. Akibatnya, pencairan pinjaman IMF menjadi tertunda. Penyebab lainnya adalah implementasi yang kurang baik dari langkah-langkah reformasi oleh tim ekonomi pemerintah pada saat itu, yang sebenarnya menentang keterlibatan IMF dalam pemulihan krisis. Hubungan IMF dan Indonesia pada era Gus Dur sangat buruk. IMF menunda pencairan dana akibat belum tuntasnya revisi sejumlah UU tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001.
Pemerintahan Megawati Sukarnoputri
Pada 23 Juli 2001, Gus Dur dilengserkan dan Megawati Sukarnoputri dilantik sebagai presiden. Sebulan setelahnya, Megawati mencapai kesepakatan dengan IMF untuk memulai kembali pinjaman $5 miliar yang sebelumnya disetop pada Desember. pasitas implementasi, sebuah masalah yang telah ada sejak pemerintahan Gus Dur. Sejak pertengahan 2002, mulai terbangun opini publik agar pemerintah tidak melanjutkan program bantuan IMF setelah selesai pada akhir 2003. Pada saat itu, hanya Indonesia satusatunya negara yang terkena krisis keuangan 1997-98, yang masih menerima bantuan IMF.
Pada Juli 2003, pemerintah mengumumkan bahwa program bantuan IMF tidak akan dilanjutkan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk tim antar-lembaga yang menyusun exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal seperti financing gap, yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah, dan credibility gap, yang terkait dengan dampak negatif dari sentimen pasar, ketika program IMF berakhir. Keputusan untuk mengakhiri program bantuan IMF dipengaruhi oleh pemilihan umum yang mendekat, serta oleh sentimen nasionalistik yang tengah berkembang di dunia politik dan publik. Pada 10 Desember 2003, pemerintah menanda tangani LOI terakhir dengan IMF. Sebagai persiapan berakhirnya program bantuan IMF, pada 15 September 2003 pemerintah menerbitkan 'Paket Kebijakan Ekonomi Pra- dan Pasca-IMF', yang juga dikenal sebagai "White Paper".
Program "White Paper" ini menimbulkan rasa kepemilikan yang lebih tinggi (karena bukan didikte oleh IMF atau asing), yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan komitmen pemerintah untuk mengimplementasikannya, serta untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Utang kepada IMF baru dilunasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awalnya, sisa cicilan utang Indonesia ke IMF dijadwalkan jatuh tempo pada 2010 senilai total US$ 7,5 miliar. Namun, karena perekonomian Indonesia terus membaik, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memutuskan mempercepat pelunasan utang pada tahun 2006. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi berhutang kepada IMF namun tetap menjadi negara anggota.
Hal tersebut menjadi salah satu klaim keberhasilan SBY dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di pemerintahan SBY juga turun drastis dari tahun 2005 yang sekitar 47,3 persen menjadi 24,7 persen di tahun 2014.
Pemerintahan Joko Widodo
Pertemuan IMF dan Bank Dunia sangat kontroversi dimana ada efek baik dan buruk yang perlu Indonsia perhatikan. Salah satunya mengenai investasi di bidang infrastruktur. Selama sidang tahunan ini, pemerintah menawarkan 79 proyek infrastruktur dengan nilai investasi US$ 42 miliar atau sekitar Rp 630 triliun kepada investor yang hadir. Proyek tersebut dikelola oleh 21 perusahaan pelat merah. Sebanyak 21 proyek di antaranya bernilai US$ 13,8 miliar atau Rp 207 triliun
Jenis investasi sektor pariwisata, yakni pembangunan sejumlah infrastruktur di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pembangunan infrastruktur di Mandalika akan dikomandoi oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku salah satu BUMN dan pendanaannya didukung dari lembaga lain, yakni Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Indonesia Eximbank serta bekerja sama dengan Wika dan Menjangan Group.
Pemerintah perlu berhati-hati, bahwa banyak negara berkembang yang sengsara atas perjanjian yang dilakukan IMF dengan beberapa negara berkembang. Karena Amerika, IMF dan Bank Dunia mengadakan pertemuan di Washington yang menghasilkan Konsensus Washington (KW). KW sendiri pada hakikatnya merupakan suatu formula yang lebih ampuh dalam menjerat, menundukkan dan menguasai negara-negara berkembang. Formula ini berupa sebuah program yang bernama program penyesuaian struktural (struktural adjustment policy/ SAP) yang harus dilaksanakan oleh negara-negara berkembang dalam pembangunannya sebagai syarat mutlak diberikannya pinjaman luar negeri dan dalam rangka mengatasi krisis dan kelesuan ekonomi.
Program penyesuaian struktural ini meliputi liberalisasi impor dan pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan), devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan pembatasan kredit untuk rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities (kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah, liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.
Program SAP inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia. Delapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002, merupakan implementasi SAP. Jadi Indonesia harus melaksanakan SAP yang sarat dengan kepentingan kapitalisme jika ingin mendapatkan pinjaman IMF.
Bagaimana IMF mempengaruhi Indonesia?
Indonesia sejak dibawah kekuasaan Soeharto pada tahun 1967 sudah berhadapan dengan kebijakan pengaturan Bank Dunia dan IMF yang saat itu sedang melaksanakan kebijakan eksport kapital ke berbagai negeri. Dampaknya, perusahaan monopoli pertambangan raksasa berdatangan dan mengikat kontrak jangka panjang dengan Suharto, diantaranya: Freeport Mc Moran, Chevron, Caltex, Unocal, Exxon mobile, Stanvac. Beberapa imperialis lain ambil bagian dengan proyek infrastruktur dan berbagai industri rakitan otomotif di Indonesia sejak tahun 1970-an awal.
Pada tahun 1969 Indonesia secara resmi menjadi anggota Bank Dunia, IMF, serta Asian Development Bank (ADB). Dengan sokongan kapital pertama dalam bentuk utang $325 juta US, imperialisme AS mengontrol Indonesia secara ekonomi dan hanya dibatasi sebagai negeri penghasil bahan mentah untuk ekspor, sementara kebutuhan dalam negeri diatur oleh impor.
Selain melalui IMF dan Bank Dunia, AS juga membentuk persekutuan kapital untuk Indonesia dengan imperialis lainnya, yaitu Inter-Governmental Group of Indonesia (IGGI) bersama dengan Kerajaan Belanda pada tahun 1967. IMF sendiri pada tahun 1967 telah memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar $51 juta, dan pada tahun yang sama IGGI memberikan utang sebesar $200 juta. Pada tahun 1968 mereka kembali memberikan utang baru sebesar $325, sebagian besar digunakan untuk "stabilitas". Berikutnya, Imperialis AS juga membuat Consultative Group of Indonesia (CGI) dan Paris Club dengan tujuan yang sama untuk mendukung skema ekonominya di Indonesia.
Bank Dunia dan ADB adalah ujung tombak utama dari operasi kapital imperialis AS di Indonesia selain IMF dan, Bank-bank milik imperialis lainnya serta perusahaan tambang besarnya di Indonesia. Mereka secara bersama-sama mengeruk keuntungan sumber daya alam Indonesia dan tenaga kerja murah. Perkebunan besar, pertambangan, perdagangan besar dan pabrik olahan adalah bidang-bidang dimana imperialis menanamkan modalnya dalam jumlah besar. Sementara kapital besar lainnya masuk dalam bentuk utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan perkantoran.
Artinya bawah Bank Dunia lah yang berperan atas program land reform palsu Soeharto sampai Jokowi saat ini, guna terus mempertahankan sistem produksi feodal di Indonesia. Bank Dunia juga yang mendorong adanya HGU dan HPH, program re-settlement project, penghancuran habitat dan ekosistem pada era Soeharto.
Pemerintahan boneka paska Soeharto melanjutkan kebijakan yang sama, dan jauh lebih kejam dan brutal sejak zaman Megawati Sukarno Putri. Mereka tetap melanjutkan kebijakan Bank Dunia di Indonesia dan mengintensifkan pemasukan negara dengan memberikan konsesi sebesar-besarnya kepada para tuan tanah besar dan perusahaan pertambangan besar milik imperialis di Indonesia. Di era Susilo Bambang Yudhoyono, program landrefom palsunya telah berlaku sama, melestarikan monpoli tanah dan saraana produksi pertanian.
Pada era kekuasaan Jokowi-JK, kebijakan ekonomi dan keuangan terus bergantung pada ekspor kapital dari imperialis. Rezim ini mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi sebanyak 16 jilid (sejak September 2015 sampai akhir 2016) sebagai implementasi percepatan deregulasi dan debirokratisasi yang mempermudah liberalisasi, privatisasi, dan merampok uang rakyat dengan intesifikasi pajak. Paket Ekonomi Jokowi menjadikan kenaikan upah buruh yang terus ditekan sedemikian murah melalui PP No. 78/2015 tentang Pengupahan yang hanya mencapai kenaikan dibawah sepuluh persen.
Bank Dunia lah yang mendorong adanya Proyek Strategis Nasional Jokowi yang telah merampas tanah rakyat secara paksa, adanya Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS) yang hakekatnya palsu. Program RAPS Jokowi sesungguhnya adalah skema untuk menjalankan program Land Administration Project (LAP) milik Bank Dunia (WB) untuk penyediaan tanah (Land Bank). Reforma Agraria Jokowi bertujuan mempertahankan monopoli tanah dan meletakkan tani kecil perseorangan terpaksa hidup berdampingan secara timpang dibawah dominasi tuan tanah besar, dan menjadikan petani semakin kehilangan tanah, terjerat peribaan yang makin mendalam, dan kemiskinan.
Pemerintah bahkan semakin menindas rakyat dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan perundangan yang merampas dan memberangus kebebasan berpendapat, mogok, dan berorganisasi, untuk meredam dan memukul aspirasi dan gerakan demokratis rakyat, diantaranya: UU Ormas, UU MD3, RKUHP, UU Anti Terorisme, UU ITE, Nota Kesepahaman antara TNI dan Polri dalam menghadapi gerakan massa di kawasan industri, kota dan perdesaan. Aturan itu semakin membenarkan kekerasan, teror, intimidasi, penangkapan dan pemenjaran terhadap rakyat.
Peranan khusus IMF dan WB juga sebagai konsultan dan pembiaya utama pembangunan infrastruktur dan kredit konsumsi di Indonesia. Mereka juga yang mendorong Indonesia menggunakan sistem E-Money (electronic money), E-Banking, E-Commerce agar dapat dikontrol langsung mobilitas uang dan kapital untuk dapat memaksimalkan perampokan terhadap rakyat. Bahkan campur tangan IMF dan WB diera Jokowi sangat terlihat, menjelang Annual Meeting ini. Dimana berbagai sarana dan kerjasama terus terlihat. Seperti pandangan dua lembaga parasite tersebut agar Jokowi tidak boleh mengontrol harga BBM, kemudian untuk mempertahankan pembangunan infrastruktur untuk memelihara pertumbuhan ekonomi hingga masalah premium yang ditiadakan selama acara annual meeting untuk sekedar memelihara udara yang sehat.
Tindakan IMF dan Bank Dunia tidak sedikit-pun memberikan "pertolongan dan bantuan" kecuali mengintensifkan perampokan, perang, dan memperburuk penghidupan rakyat. Kedua lembaga jahat tersebut menjadi instrumen negeri-negeri imperialis, khususnya G7 untuk: Pertama, Mengeruk kekayaan alam sebesar-besarnya dengan murah untuk kebutuhan monopolinya atau disebut perampokkan. Kedua, Mempertahankan tenaga kerja murah dengan menekan upah terus rendah. Ketiga, Menjadikan Indonesia terus menjadi pasar barang-barang sampah yang merupakan produk berlebih (overproduction). Keempat, Menjadikan Indonesia terus menjadi obyek penghisapan dan perampokan kapitalis monopoli melalui import kapitalnya, yakni utang dan investasi.
IMF dan Bank Dunia akan terus berkuasa dengan hutang atau "bantuan" yang diberikannya atas negara dan bangsa. Hutang dan bantuan mereka berarti politik dan juga dominasi militer imperialis Amerika Serikat. Hutang menjadi instrumen untuk memaksa negara membuat regulasi yang merugikan dan mencelakakan rakyat. Hutang menjadi instrumen untuk memobilisasi kekuatan militer. Dibawah IMF dan Bank Dunia Indonesia tidak akan pernah menjadi negeri yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian secara kebudayaan. Selama rejim yang berkuasa di Indonesia melaksanakan skema kedua lembaga jahat itu dengan patuh, termasuk Jokowi-JK, maka tidak akan pernah terwujud land reform sejati dan industri nasional yang mandiri.
Referensi
Boediono, 2016. Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah. Bandung : Mizana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H