Pemerintahan Joko Widodo
Pertemuan IMF dan Bank Dunia sangat kontroversi dimana ada efek baik dan buruk yang perlu Indonsia perhatikan. Salah satunya mengenai investasi di bidang infrastruktur. Selama sidang tahunan ini, pemerintah menawarkan 79 proyek infrastruktur dengan nilai investasi US$ 42 miliar atau sekitar Rp 630 triliun kepada investor yang hadir. Proyek tersebut dikelola oleh 21 perusahaan pelat merah. Sebanyak 21 proyek di antaranya bernilai US$ 13,8 miliar atau Rp 207 triliun
Jenis investasi sektor pariwisata, yakni pembangunan sejumlah infrastruktur di Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pembangunan infrastruktur di Mandalika akan dikomandoi oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) selaku salah satu BUMN dan pendanaannya didukung dari lembaga lain, yakni Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Indonesia Eximbank serta bekerja sama dengan Wika dan Menjangan Group.
Pemerintah perlu berhati-hati, bahwa banyak negara berkembang yang sengsara atas perjanjian yang dilakukan IMF dengan beberapa negara berkembang. Karena Amerika, IMF dan Bank Dunia mengadakan pertemuan di Washington yang menghasilkan Konsensus Washington (KW). KW sendiri pada hakikatnya merupakan suatu formula yang lebih ampuh dalam menjerat, menundukkan dan menguasai negara-negara berkembang. Formula ini berupa sebuah program yang bernama program penyesuaian struktural (struktural adjustment policy/ SAP) yang harus dilaksanakan oleh negara-negara berkembang dalam pembangunannya sebagai syarat mutlak diberikannya pinjaman luar negeri dan dalam rangka mengatasi krisis dan kelesuan ekonomi.
Program penyesuaian struktural ini meliputi liberalisasi impor dan pelaksanaan sumber-sumber keuangan secara bebas (liberalisasi keuangan), devaluasi mata uang, pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter dengan pembatasan kredit untuk rakyat, pengenaan tingkat suku bunga yang tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan harga-harga public utilities (kebutuhan rakyat), peningkatan pajak, menekan tuntutan kenaikan upah, liberalisasi investasi terutama investasi asing dan privatisasi.
Program SAP inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia. Delapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002, merupakan implementasi SAP. Jadi Indonesia harus melaksanakan SAP yang sarat dengan kepentingan kapitalisme jika ingin mendapatkan pinjaman IMF.
Bagaimana IMF mempengaruhi Indonesia?
Indonesia sejak dibawah kekuasaan Soeharto pada tahun 1967 sudah berhadapan dengan kebijakan pengaturan Bank Dunia dan IMF yang saat itu sedang melaksanakan kebijakan eksport kapital ke berbagai negeri. Dampaknya, perusahaan monopoli pertambangan raksasa berdatangan dan mengikat kontrak jangka panjang dengan Suharto, diantaranya: Freeport Mc Moran, Chevron, Caltex, Unocal, Exxon mobile, Stanvac. Beberapa imperialis lain ambil bagian dengan proyek infrastruktur dan berbagai industri rakitan otomotif di Indonesia sejak tahun 1970-an awal.
Pada tahun 1969 Indonesia secara resmi menjadi anggota Bank Dunia, IMF, serta Asian Development Bank (ADB). Dengan sokongan kapital pertama dalam bentuk utang $325 juta US, imperialisme AS mengontrol Indonesia secara ekonomi dan hanya dibatasi sebagai negeri penghasil bahan mentah untuk ekspor, sementara kebutuhan dalam negeri diatur oleh impor.
Selain melalui IMF dan Bank Dunia, AS juga membentuk persekutuan kapital untuk Indonesia dengan imperialis lainnya, yaitu Inter-Governmental Group of Indonesia (IGGI) bersama dengan Kerajaan Belanda pada tahun 1967. IMF sendiri pada tahun 1967 telah memberikan bantuan kepada Indonesia sebesar $51 juta, dan pada tahun yang sama IGGI memberikan utang sebesar $200 juta. Pada tahun 1968 mereka kembali memberikan utang baru sebesar $325, sebagian besar digunakan untuk "stabilitas". Berikutnya, Imperialis AS juga membuat Consultative Group of Indonesia (CGI) dan Paris Club dengan tujuan yang sama untuk mendukung skema ekonominya di Indonesia.
Bank Dunia dan ADB adalah ujung tombak utama dari operasi kapital imperialis AS di Indonesia selain IMF dan, Bank-bank milik imperialis lainnya serta perusahaan tambang besarnya di Indonesia. Mereka secara bersama-sama mengeruk keuntungan sumber daya alam Indonesia dan tenaga kerja murah. Perkebunan besar, pertambangan, perdagangan besar dan pabrik olahan adalah bidang-bidang dimana imperialis menanamkan modalnya dalam jumlah besar. Sementara kapital besar lainnya masuk dalam bentuk utang luar negeri untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan perkantoran.