Pada era B.J Habibie, Presiden AS Bill Clinton memotong bantuan militer untuk Indonesia. Hal tersebut membuat IMF bereaksi serupa dalam menunda pinjaman setelah terjadi kekerasan pasca referendum di Timor Timur. Bantuan tersebut merupakan sisa bantuan dari paket kebijakan SAP dari IMF yang belum diberikan kepada Indonesia. Reaksi yang diberikan oleh Clinton secara langsung mempengaruhi IMF dikarenakan AS merupakan penyumbang dana utama IMF. Hubungan IMF dan Indonesia di era Gus Dur juga semakin memburuk ketika dirinya menolak resep ekonomi IMF. IMF menunda pencairan dana akibat belum tuntasnya revisi sejumlah UU tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001.
Pemerintahan Gus Dur
Kesepakatan baru IMF dengan Indonesia setelah penadatangan LOI pada Januari 2000. Kesepakatan baru ini sangat ambisius karena berisi daftar panjang langkah-langkah perombakan struktural ekonomi yang kompleks. IMF maupun pemerintah mengabaikan batas-batas kapasitas pemerintah untuk melaksanakannya. Kesenjangan antara apa yang telah disepakati dengan yang dijalankan membuat kepercayaan para pelaku ekonomi menurun.
Presiden Gus Dur terjerat oleh beberapa permasalahan governance, termasuk skandal Bulog yang menyebabkan turunnya beliau dari jabatannya. Akibatnya, pencairan pinjaman IMF menjadi tertunda. Penyebab lainnya adalah implementasi yang kurang baik dari langkah-langkah reformasi oleh tim ekonomi pemerintah pada saat itu, yang sebenarnya menentang keterlibatan IMF dalam pemulihan krisis. Hubungan IMF dan Indonesia pada era Gus Dur sangat buruk. IMF menunda pencairan dana akibat belum tuntasnya revisi sejumlah UU tentang bank sentral, otonomi daerah, serta revisi APBN 2001.
Pemerintahan Megawati Sukarnoputri
Pada 23 Juli 2001, Gus Dur dilengserkan dan Megawati Sukarnoputri dilantik sebagai presiden. Sebulan setelahnya, Megawati mencapai kesepakatan dengan IMF untuk memulai kembali pinjaman $5 miliar yang sebelumnya disetop pada Desember. pasitas implementasi, sebuah masalah yang telah ada sejak pemerintahan Gus Dur. Sejak pertengahan 2002, mulai terbangun opini publik agar pemerintah tidak melanjutkan program bantuan IMF setelah selesai pada akhir 2003. Pada saat itu, hanya Indonesia satusatunya negara yang terkena krisis keuangan 1997-98, yang masih menerima bantuan IMF.
Pada Juli 2003, pemerintah mengumumkan bahwa program bantuan IMF tidak akan dilanjutkan. Oleh karena itu, pemerintah membentuk tim antar-lembaga yang menyusun exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal seperti financing gap, yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah, dan credibility gap, yang terkait dengan dampak negatif dari sentimen pasar, ketika program IMF berakhir. Keputusan untuk mengakhiri program bantuan IMF dipengaruhi oleh pemilihan umum yang mendekat, serta oleh sentimen nasionalistik yang tengah berkembang di dunia politik dan publik. Pada 10 Desember 2003, pemerintah menanda tangani LOI terakhir dengan IMF. Sebagai persiapan berakhirnya program bantuan IMF, pada 15 September 2003 pemerintah menerbitkan 'Paket Kebijakan Ekonomi Pra- dan Pasca-IMF', yang juga dikenal sebagai "White Paper".
Program "White Paper" ini menimbulkan rasa kepemilikan yang lebih tinggi (karena bukan didikte oleh IMF atau asing), yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan komitmen pemerintah untuk mengimplementasikannya, serta untuk meningkatkan koordinasi dan kerjasama antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Utang kepada IMF baru dilunasi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awalnya, sisa cicilan utang Indonesia ke IMF dijadwalkan jatuh tempo pada 2010 senilai total US$ 7,5 miliar. Namun, karena perekonomian Indonesia terus membaik, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memutuskan mempercepat pelunasan utang pada tahun 2006. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi berhutang kepada IMF namun tetap menjadi negara anggota.
Hal tersebut menjadi salah satu klaim keberhasilan SBY dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Ratio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di pemerintahan SBY juga turun drastis dari tahun 2005 yang sekitar 47,3 persen menjadi 24,7 persen di tahun 2014.