Pemerintah Indonesia menjadi pasien IMF pertama kali pada Agustus 1956 yang memperoleh pinjaman IMF sebesar US$55 juta karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat. Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara baru yang menghadapi persoalan besar dalam pembangunan infrastruktur dan membutuhkan banyak investasi baru. Apalagi defisit anggaran tahun 1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.
Menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar tujuan dari bantuan IMF dan Bank Dunia adalah membuka pasar lebih luas bagi barang-barang hasil industrinya, memperoleh bahan-bahan mentah dengan harga lebih murah (dengan syarat mata uang negeri penerima bantuan harus didevaluasi), dan memperluas lapangan penanaman modal bagi pemilik-pemilik modal negeri donor dengan jaminan bisa memperoleh keuntungan lebih besar.
Terbukti bahwa pada pertengahan 1961, Presiden Kennedy mengirimkan tim survey yang dipimpin oleh senator Hubert Humphrey untuk mendata kebutuhan-kebutuhan Indonesia. Setelah meneliti langsung, tim menerbitkan laporan pada pertengahan 1962 yang merekomendasikan bantuan Amerika Serikat senilai US$200-235 juta, plus pendanaan multinasional US$125-155 juta. Menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno bahwa tawaran bantuan ini akan terikat dengan serangkaian proposal reformasi ekonomi yang pengawasan dan programnya dibuat oleh IMF.
Pemerintahan Soeharto
Krisis di Indonesia merupakan imbas dari krisis di Thailand. Cara otoritas Thailand pada Mei 1997 menangani spekulan yang menyerang Baht berbuah pahit. Intervensi hingga $10 miliar yang dikeluarkan Bank of Thailand terbukti gagal menghukum para spekulan. Pada 1997, kabar tentang pemerintah mendevaluasi Baht secara drastis menurunkan nilai mata uang tersebut 20 persen. IMF diundang untuk memberikan bantuan.
LOI pertama pada era soherto pada 31 Oktober 1997 setelah memohon bantuan pada IMF untuk memulihkan kepercayaan pasar dan menstabilkan rupiah, Indonesia mendapat paket bantuan $23 miliar. Jika pinjaman IMF tak cukup menstabilkan situasi ekonomi, Jepang dan Singapura berjanji menambah bantuan $3 miliar dan $5 miliar.
Pada 15 Januari 1998 ditandatangani LOI kedua Indonesia menandatangani dokumen Letter of Intent (LOI) dan IMF menyepakati kucuran dana yang berdampak sistematis meliberalisasi berbagai sektor strategis di Indonesia, mulai dari pengelolaan APBN, perbankan, penanaman modal, sector migas, sector pertambangan, pencabutan monopoli Bulog dan segala privatisasi. Dua bulan kemudian, IMF mengumumkan menunda turunnya bantuan $3 miliar dengan alasan Indonesia belum memenuhi sejumlah persyaratan.
Penandatangan LOI ketiga pada April 1998 untuk memperbaiki strategi dalam penyelesaian utang swasta yang merupakan salah satu penyebab utam gejolak kurs. Salah satu poin dalam LoI kali ini juga adalah pengurangan subsidi energi secara gradual. Maka, pada 4 Mei 1998, harga BBM di Indonesia dinaikkan sebesar 71,43%, dari Rp700 per liter menjadi Rp1.200 per liter. Menaikkan harga BBM, yang akan berpengaruh kepada ongkos distribusi dan pada akhirnya harga kebutuhan pokok, saat daya beli rakyat sudah sangat anjlok, tentu bukanlah hal yang bijak. Demonstrasi pun terjadi di beberapa kota besar di Indonesia pada Mei 1998, seperti Jakarta, Bandung, Medan, Solo, dan Yogyakarta.
Pemerintahan BJ HabibieÂ
Pada bulan Juli 1998, persetujuan Letter of Intent (LOI) pertama dan terakhir pada zaman Habiebie untuk program bantuan IMF yang disetujui, dan kali ini melibatkan strategi restrukturisasi korporasi serta program restrukturisasi perbankan yang lebih luas. Namun, pada periode Habibie, terdapat skandal Bank Bali. Pemerintah menolak mengumumkan hasil audit Bank Bali kepada publik, seperti diminta IMF, yang berakibat penghentian sementara program IMF pada September 1999.
Program IMF sangat penting demi mendukung agenda ekonomi yang terstruktur, di tengah periode pemerintahan yang cenderung kacau dan sering berganti-ganti. Program tersebut juga mensyaratkan sejumlah reformasi yang diarahkan untuk memperkuat kerangka institusional dalam rangka menjamin transparansi, persaingan yang sehat, serta kerangka hukum dan regulasi yang lebih kuat. Termasuk dalam langkah tersebut adalah reformasi untuk menata ulang sistem kepailitan, serta pendirian Pengadilan Niaga. Inisiatif lainnya adalah penerbitan UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (hukum persaingan) pada Maret 1999, serta pemberian status independen Bank Indonesia yang diamanatkan melalui UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia.