Mohon tunggu...
Hanif Vidi
Hanif Vidi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Analis Kebijakan

Komunitas Studi Politik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia (Bukan) Tanah Air Beta

7 Maret 2016   10:42 Diperbarui: 7 Maret 2016   11:28 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

…tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…

Sepenggal bait lagu ciptaan Ismail Marzuki itu sudah cukup lama terngiang di seluruh pelosok negeri. Sebuah lagu ciptaan anak negeri yang menggambarkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Namun benarkah demikian adanya? Benarkah anak-anak negeri ini benar-benar mejadi tuan di negerinya sendiri? Atau malah menjadi budak di negeri sendiri? Melihat dari kenyataan yang ada, penulis berfikir mungkin pernyataan yang paling akhir lebih relevan saat ini. Setidaknya angka 75% penduduk miskin di negeri ini cukup menjadi indikator bahwa bangsa Indonesia kini berada diujung kemelaratan. Ironis, mengingat negeri ini dianggap sebagai negeri yang paling kaya akan sumber daya alam, ada semboyan Indonesia ini adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi. Ada bahkan yang menyebut bahwa Indonesia ini adalah titisan negeri Atlantis. Berlebihan kah? Tidak. Negeri ini memang kaya raya, hanya kekayaan itu tidak pernah dinikmati oleh empunya negeri ini sendiri.

Republik ini didirikan oleh anak-anak kos-kosan perantauan yang disokong oleh 95% rakyat yang miskin dari segala hal. Miskin sempurna kecuali iman. Rakyat miskin itu membentuk  Negara lalu memilih pengurusnya. Pengurusnya kemudian menciptakan berbagai aturan. Tiap waktu rakyat yang miskin itu disuruh memilih pemimpinnya. Mulai Soekarno hingga Joko Widodo. 

Semua rangkaian itu terus berputar dan berulang. Sang pengurus selalu menciptakan aturan dan sang pemimpin silih berganti menghias singgasana Nusantara. Selalu ada perubahan baru dalam rangkaian peristiwa itu, namun ada satu yang tidak berubah, rakyat-rakyat miskin itu tetaplah miskin. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat memutuskan membentuk negeri ini dan menyerahkannya hanya kepada seorang manusia yang memiliki seribu satu kelemahan dan kesalahan, mungkin mereka pada kala itu bingung mau dikemanakan Republik ini karena belum ada system pemerintahan oleh seribu orang. Sampai pada akhirnya mereka kemudian mengarang sebuah hikayat tentang pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” yang hingga kini hanya menjadi sebuah dongeng. Dongeng yang kemudian dirayakan oleh penduduk negeri ini setiap lima tahun sekali. Untuk apa? Untuk tetap menjadi dongeng.

Entah apa yang ada di pikiran rakyat-rakyat miskin itu? Mereka mendirikan sebuah Republik, menyerahkannya kepada seseorang, dan apa hasilnya sekarang? Adakah hasilnya? Jawabanya ada. Hasil yang pertama adalah rakyat itu tetap miskin bahkan setelah berganti-ganti generasi sekalipun. Hasil yang kedua adalah ternyata terdapat 10 orang terkaya di negeri ini, dan beberapa bahkan masuk dalam daftar orang terkaya di seluruh jagat. Bravo !! Patutkah kita bangga dengan 10 orang tersebut? Haruskah kita membanggakan segelintir orang yang manjadi Qarun baru sedang rakyat yang mayoritas itu tetap seperti keadaannya semula. Tidak berubah kecuali tahunnya saja. 

Sungguh menggelikan ketika ada fenomena orang terkaya di Indonesia  menjadi sebuah wacana masa kini yang dipublish sedemikian rupa ketika mayoritas rakyat bangsa Indonesia ini tetap terkungkung dalam kemiskinan. Sejenak timbul praduga di benak penulis, apakah mayoritas penduduk di negeri ini memang bodoh, sedangkan 10 orang terkaya itu yang pintar? Tidak juga. 

Ternyata angka tingkat tenaga kerja terdidik dan tingkat pendidikan di Indonesia tinggi kok, terus kenapa masih miskin? Apa karena dari jaman dahulu negeri ini sudah dikondisikan ekonominya dipegang oleh minoritas? Yang kemudian sistem itu dimodifikasi oleh celah untuk korupsi, kolusi dan nepotisme? Tidak ada tempat bagi golongan bumiputera, tidak ada keberpihakan bagi si miskin untuk bangkit dari keterpurukan sementara yang punya akses pendanaan dan birokrasi semakin jauh meninggalkan si miskin. 

Itulah yang pada akhirnya memunculkan fenomena 10 orang terkaya di negeri ini. Adalah lazim saja ketika fenomena itu terjadi di Negara tetangga Singapore dimana semua masyarakatnya mendapatkan jaminan atas kehidupan yang layak. Tetapi layakkah jika itu diwacanakan di negeri ini? Tidak. Walaupun jaminan atas kekayaan di negeri ini sudah dijanjikan pada UUD 1945 pasal 33 sekalipun, nyatanya fenomena 10 orang terkaya itu sudah jelas menjadi indikator bahwa ada kesenjangan yang sangat tinggi dalam kepemilikan sektor-sektor dan alat produksi di negeri ini.

Ada pertanyaan menarik, bukankah negeri ini harusnya bisa makmur dan masyarakatnya bisa terlepas dari kemiskinan kalau ada 10 orang terkaya di negeri ini? Harusnya sih begitu. tapi masalahnya adalah apakah 10 orang terkaya ini adalah termasuk dalam golongan atau kubu si miskin? Atau justru mereka termasuk dalam kubu minoritas penguasa alat-alat produksi yang bahkan mereka bisa melumpuhkan perekonomian di negeri ini hanya dalam sekali hentakan? Karena kubu minoritas ini lah yang akhirnya melalui teori invicible hand -nya Adam Smith menimbulkan dikotomi si kaya dan si miskin. Lantas apa kontribusi 10 orang terkaya ini bagi Negara? 

Apa mereka bisa membantu Negara ini mengentaskan kemskinan? Bukankah Negara ini sudah menyediakan segala kebutuhan bagi mereka hingga bisa mendapatkan predikat terkaya di negeri ini? Apakah mereka ini asli Bumiputera? Kalau asli Bumiputera mereka tentunya tidak akan menjadi orang terkaya. Lantas, apakah si kaya ini hanya mengatasnamakan Bumiputera agar mereka bisa berkuasa terhadap kepolosan para Bumiputera asli yang begitu ramah terhadap para si kaya, parasit penjajah ini. Biasanya ketika si kaya ini bikin masalah, mereka lantas akan melarikan diri ke negeri nenek moyangnya dan meninggalkan bekas luka seperti BLBI, Century, dll. Dan ketika itu terjadi, aparatur kita biasanya dan bisanya hanya manggut-manggut saja seperti orang waras. Ooh malangnya Negeriku, orang-orang miskin menciptakan orang kaya, orang kaya menciptakan kemiskinan.

…tempat berlindung di hari tua.. tetap miskin di akhir masa…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun