Salam Pergerakan. Familiar kah Republik mendengar daerah ini. Penulis rasa para Republik pasti sudah mengenal salah satu daerah perbatasan di Negara kita tercinta Indonesia ini. Apa kabar Ambalat? Bagaimanakah riwayatmu kini? Sebagai salah satu daerah perbatasan yang sering menjadi daerah persengketaan wilayah, Ambalat tidak akan pernah habis menjadi kajian pemikiran bagi anak bangsa dalam mempelajari dinamika yang ada di sana. Penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan, meskipun diakui oleh banyak pihak dan Pemerintah RI sendiri, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang sangat penting. Namun dalam kenyataannya, nasibnya tidak kunjung berubah dan jangan-jangan malah semakin memburuk. Lantas bagaimana dengan posisi warga Ambalat sendiri?
Double Agent?
Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap nasib penduduk di wilayah-wilayah perbatasan sebuah negara, sesungguhnya merupakan gejala yang bersifat umum. Yang menarik adalah, bahwa kecilnya perhatian pemerintah terhadap penduduk dikawasan perbatasan itu seiring dengan sedikitnya studi-studi tentang wilayah perbatasan. Sebagaimana halnya jalan dan sarana-sarana umum lainnya, yang semakin langka ketika kita semakin mendekati daerah perbatasan, begitu pula halnya dengan kegiatan studi tentang wilayah perbatasan. Sementara semakin sedikit kajian mengenai daerah perbatasan yang dilakukan, maka semakin sedikit pula referensi berpikir pemerintah untuk mengerti general will warga Ambalat.
Ambalat memang bukan wilayah darat, Ambalat itu territory yang sebagian besar terdiri dari air. Lha terus siapa yang diuntungkan? Meskipun laut, ada pulau di daerah-daerah sekitar Ambalat yang juga dihuni oleh penduduk. Ambalat dianggap strategis karena menjadi daerah wira-wiri nya para nelayan baik itu Indonesia maupun Malaysia. Sipadan dan Ligitan yang dekat saja bisa hilang (padahal Sipadan dan Ligitan pulau kosong yang baru diklaim ketika juga diklaim Negara lain) apalagi Ambalat yang lebih jauh daripada Sipadan dan Ligitan? Menariknya, warga kecil di Ambalat ini mendadak menjadi tenar ketika daerah ini menjadi perebutan dua Negara. Posisi warga Ambalat serba diuntungkan. Apa yang bisa diberikan Negara ini bagi mereka, toh selama ini juga kurang diperhatikan, kenapa harus dipertahankan? Bukan tidak mungkin akhirnya mereka mengkerlingkan mata kepada Negara tetangga yang sedang gemar untuk memperluas wilayah. Posisi warga masyarakat Ambalat menjadi strategis bagi mereka ketika diperebutkan dua Negara, siapa yang memberi siapa yang berhak memiliki. Mungkinkah terjadi referendum lagi?
Perang Para Politisi Cari Muka
Martin Pratt dalam Boundary-Making, Challenges & Opportunity (UK: 2009), problema pokok wilayah perbatasan, barangkali adalah soal-soal yang berkaitan dengan kekuasaan (border), ruang (state) dan jarak (distance). Konstruksi sosial kita tentang perbatasan, setelah secara hukum ditetapkan di antara negara-negara yang memiliki wilayah, ditentukan oleh bagaimana kekuasaan yang berada di pusat memandang dari jarak tertentu dan kemudian memberlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis tetapi juga bersifat sosial dan politik, hubungan kekuasaan yang bersifat hirarkis, superior-inverior, pusat-pinggiran, juga persoalan inclusion-exclusion. Ini tampaknya merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian ketika kita membicarakan tentang perbatasan dan penduduk yang bermukim di perbatasan. Cukupkah sampai disitu? Tidak. Bagaimana kemudian peran pemegang kekuasaan ini bisa sampai di Ambalat? Apa peran wakil rakyat yang sudah dipilih mewakili kepentingan Ambalat? Terlalu sunyi. Ambalat kemudian menjadi komoditi “perang ucap” para politisi ketika daerah ini menjadi perebutan dua Negara. Masing-masing sosok silih berganti tampil di muka menampakkan wajah kesal dan marah sembari berteriak-teriak “Malingsia”, sebuah plesetan yang kemudian menjadi tenar ketika Indonesia-Malaysia sering berkonfrontasi atas perebutan ruang-ruang tertentu seperti kebudayaan, wilayah atau kemanusiaan. Namun bijak kah mengkambinghitamkan Malaysia atas kebodohan para politisi itu yang sebelumnya menanyakan “Ambalat itu apa?”, “Dimanakah Ambalat itu?”.
Apa Guna Indonesia Memakai Sistem Pertahanan Rakyat Semesta?
Sistem pertahanan Indonesia yang bersifat semesta mengalir dari amanat Undang Undang Dasar 1945 Pasal 30, bahwa usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 3 Tahun 2002, Sistem Pertahanan Semesta dibangun dan dipersiapkan untuk menghadapi setiap bentuk ancaman, baik yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri.
Selanjutnya, pertahanan negara Indonesia yang diselenggarakan dalam suatu Sistem Pertahanan Semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, serta segenap sumber daya nasional yang dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut. Sistem Pertahanan Semesta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan pertahanan yang kuat dan disegani baik kawan maupun calon lawan. Namun masih relevankah jika pemerintah Negara kita saja tidak paham dengan wilayahnya sendiri alih-alih memperhatikan masyarakat yang ada di daerah perbatasan tersebut? Bukankah kasus Sipadan Ligitan cukup jelas? Pulau kosong yang tidak dijaga, kemudian Negara lain menjaganya meskipun dengan syarat dan ketentuan berlaku, salahkah?
Perlu disadari bahwa melalui suatu perjuangan panjang Indonesia telah resmi menjadi salah satu dari sedikit negara kepulauan (archipelagic state) di dunia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (The United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Sebagai perwujudannya, maka dibuat UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No.4/1960. Amanat dalam UNCLOS 1982 antara lain adalah keharusan Indonesia membuat peta garis batas, yang memuat kordinat garis dasar sebagai titikditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia. Namun dalam UU No.6/1996 tidak memuat peta garis batas Indonesia. Kewajiban ini tidak segera dilakukan oleh Indonesia, namun justruMalaysia yang berinisiatif membangun fasilitas dan kemudian mengklaim Sipadan – Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya.
Ini hanya mungkin bisa terjadi sebagai akibat dari “kelalaian”dan terbukti, sebagaimana dikatakan oleh Malaysia, kedua pulau tersebut tidak diurus oleh Indonesia. Apa yang dilakukan Malaysia dapat diterima dan bahkan memperkuat pertimbangan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menetapkanMalaysia sebagai negara yang berhak atas pulau Sipadan dan Ligitan. Kabarnya Malaysia juga berusaha melakukan hal serupa terhadap Pulau Natuna, dengan cara membangun pulau tersebut sebagai daerah tujuan wisata.