Mohon tunggu...
Hanif Vidi
Hanif Vidi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Analis Kebijakan

Komunitas Studi Politik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekuasaan KPK “Tidak Tak Terbatas”

24 Januari 2015   01:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:29 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salam Republik. Pagi umat Islam hari Jumat identik dengan keberkahan, namun bagi sebagaian pihak itu dianggap menjadi hari yang nahas. Jumat keramat, sebutan masyarakat ketika banyak kejadian luar biasa di ranah politik terjadi pada hari Jumat. Apakah itu terjadi secara kebetulan atau disengaja, bukan itu yang akan dibahas. Jumat (23/1/2015), Personel Bareskrim Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) pagi ini terkait kasus keterangan palsu soal penanganan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah tahun 2010. Rakyat menjadi gempar. Kenapa Polri tiba-tiba melakukan penangkapan kepada petinggi KPK? Itu mungkin ada dibenak para Republikan. Apakah ini murni penangkapan atas kesalahan Bambang Widjojanto atas kasus saksi palsu? Atau ini dianggap sebagai imbas penetapan Komjen Budi Gunawan, tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi terkait transaksi tidak wajar? Budi diduga menerima gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi SDM di Mabes Polri.



Perseteruan KPK vs POLRI tampaknya memasuki babak baru dalam era kepemimpinan yang baru. Mari kita bahas soal Budi. Rentetan bola panas bergulir sejak ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka. Budi Gunawan dianggap sebagai orang yang mempunyai andil besar bagi Megawati dan terpilihnya Jokowi. Banyak orang beranggapan bahwa ditunjuknya Budi Gunawan sebagai Kapolri yang baru adalah sebagai upaya balas jasa PDI kepada Budi. Ketika Budi dinyatakan sebagai TSK atas rekening gendut, pihak yang paling bereaksi adalah PDI dan Polri. Budi Gunawan adalah calon utama Kapolri yang ditunjuk oleh Jokowi, dengan ditetapkannya Budi sebagai TSK oleh KPK maka Jokowi akan dihadapkan pada situasi yang runyam. Pada satu sisi ada pihak yang menginginkan Jokowi membatalkan pelantikan karena kasus hukum Budi. Pada sisi lain, kalau Jokowi membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, dimana keibawaan Jokowi sebagi presiden? Bukankah ketika memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri maka pilihan Jokowi bisa dipertanggungjawabkan? Apa ada seorang presiden menunjuk seseorang yang tidak kredibel sebagai Kapolri? Kalaupun upaya balas jasa itu benar adanya, maka akan ada upaya kuat untuk melindungi Budi. Menariknya, mengapa kasus rekening gendut Budi baru dikeluarkan sekarang oleh KPK? Mengapa tidak disaat sebelum Budi Gunawan diwacanakan menjadi Kapolri? Apakah KPK sedang mengamati transisi politik di istana terlebih dahulu sambil menentukan sikap? Tunggu. Mengapa KPK harus menentukan sikap, bukankah KPK dianggap sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tak terbatas sehingga memiliki independensi yang kuat, jadi kenapa  harus tunduk kepada pemerintah? Masalahnya, KPK itu dipilih bukan langsung oleh rakyat, jadi ranah politisnya sangat kuat. Posisi KPK adalah warisan dari rezim lama, sedangkan periode sekarang adalah periode “bersih-bersih”. Apakah elite atau “oknum” KPK ini kemudian mencari posisi di pemerintahan yang baru? Rumah Kaca mungkin bisa menjadi jawabannya. (baca: http://m.kompasiana.com/post/read/717544/1/rumah-kaca-abraham-samad-.html )



Beberapa hari setelah postingan Rumah Kaca, muncul keterangan dari Plt Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto yang mengungkap adanya pertemuan PDIP dengan Abraham Samad sebagai respon dari tulisan Rumah Kaca. “Sekarang KPK dikesankan sebagai malaikat, dewa yang tidak miliki dosa. Publik selama ini selalu terpesona dengan KPK dalam menetapkan tersangka selalu dengan drama sehingga publik dibuat mencekam, terpesona oleh citra dan kinerja KPK”, itulah ungkapan Hasto. (baca: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150122162359-20-26587/kronologi-pertemuan-pdip-abraham-samad-versi-hasto/ ) . Kasus Budi Gunawan kemudian dianggap beberapa pihak sebagai ajang balas dendam Abraham Samad kepada kubu PDI-P, dengan begitu elite KPK akan dianggap punya posisi yang diperhitungkan di pemerintahan yang baru ini. Tapi manuver itu tampaknya mendapatkan tandingan. Beberapa saat kemudian muncul foto mesra Abraham Samad dengan Miss Indonesia 2014, Elvira Devinamira. (baca: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/beredar-foto-mesra-mirip-abraham-samad-38-puteri-indonesia-47a86b.html ). Mesikpun foto itu kemudian banyak dikatakan para pakar sebagai foto palsu, namun itu bisa menjadi tes case bahwa KPK tidak bisa bekerja secara semaunya sendiri hanya karena ambisi elitnya. Banyak pihak kemudian meminta agar dilakukan pemeriksaan secara etik kepada Samad seperti pada waktu bocornya Sprindik Anas Urbaningrum. Yah, bukan kali ini saja Samad berurusan dengan pelanggaran etik. (baca: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/04/03/terbukti-langgar-kode-etik-abraham-samad-tutup-mulut ). Lho, kalau saja keterangan yang diberikan oleh Rumah Kaca benar, bukannya Samad wajib diperiksa juga terkait pelanggaran etik? Apakah boleh Ketua KPK yang belum dinyatakan berhenti atau mengundurkan diri ikut dalam konstelasi politik?



Belum juga habis kekagetan publik terhadap kasus Budi dan Samad, hari ini muncul berita bahwa Bambang ditangkap oleh Bareskrim Polri atas kasus saksi palsu di Pilkada Kotawaringin Barat. Apakah ini bisa dikatakan sebagai perang intelejen? Bisa jadi. Secara tidak langsung peperangan Polri vs KPK ini seperti Teuku Umar vs Cikeas. Mengapa? kita tidak akan membahas ini. Penangkapan Samad yang tiba-tiba membuat orang bertanya-tanya. Mengapa tidak Samad yang bersinggungan langsung? Mengapa Bambang? Jangan salah. Samad hanya test case. Bisa jadi Bambang adalah pintu utama untuk mengganyang Samad di kemudian hari. Sampai sore ini Samad masih menjalani pemeriksaan di Mabes Polri. Namun, muncul berita bahwa penangkapan Samad tanpa sepengetahuan Wakapolri. Lho bukannya Humas Polri sudah memberikan keterangan penangkapan Bambang Widjojanto? (baca: http://news.detik.com/read/2015/01/23/111025/2811732/10/mabes-polri-laporan-atas-bambang-dilakukan-masyarakat-pada-15-januari-2015?nd772205mr ) .  Mungkinkah lembaga sekelas Polri menindak pimpinan lembaga tingggi Negara lainnya tanpa persetujuan pimpinannya? Itu hal yang sulit dilakukan.



Apa yang salah dengan penangkapan Bambang Widjojanto? Kalau dia bersalah, maka harus ditetapkan asas peradilan hukum yang sama pula tanpa tedeng aling-aling. Terlalu naif jika dikatakan ini sebagai upaya pelemahan KPK RI dalam pemberantasan korupsi. Mungkin rakyat sudah terlalu familiar dengan frasa kriminalisasi sehingga setiap upaya penegakan hukum tanpa pandang bulu kepada para pejabat tinggi Negara yang melakukan penyelewengan dibilang sebagai upaya pelemahan. Ketika pejabat Polri yang ditangkap, maka akan muncul #savePolisi. Sebaliknya ketika ada upaya penegakan hukum kepada pimpinan KPK, maka kini muncul #saveKPK. Perang antar 2 lembaga sudah semakin parah. Tak seharusnya juga masyarakat iku semakin parah. Kalau mau fair, biarkan saja masing-masing lembaga melakukan tugasnya sampai status hukumnya jelas. Jadi tak perlu memakai istilah kriminalisasi atau #save . Itu berlebihan, tiadak ada upaya pelemahan institusi, karena yang bersalah adalah individu atau oknumnya. Apakah KPK mau dikenakan asas collective collegial buat mereka sendiri, sehingga ketika satu pimpinan berbuat salah maka pimpinan lainnya juga ikut disalahkan? Atau bagaimana jika asas pembuktian terbalik juga dikenakan kepada KPK agar KPK tidak seperti Tuhan atau tanpa pengawas? KPK harus punya alat control, begitu juga dengan Polisi, agar tidak dijadikan mainan penguasa. Sekali lagi, tak usah ada kata #save… Biarkan hukum menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Ngomong-ngomong soal keadilan, tahun kemarin ada keluarga pemimpin Negara terkena indikasi korupsi juga tidak ada kata #save… Apa kata save berasal dari KPK? Hanya Tuhan yang tahu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun