Disclaimer:
Ini catatan harian yang konteks penulisannya sesuai dengan waktu tulisan ini dibuat. Mudah-mudahan saja masih ada manfaatnya. Terima kasih.
***
Media massa kita banyak kata-kata makian ya? Begitu kata seorang sahabat dalam suatu kesempatan lebaran tahun ini. Apa yang sebenarnya kita harapkan dari kata-kata makian itu? Ia lanjut mempertanyakan.
Kata-kata makian memang sangat mudah kita temukan di ruang publik. Media massa, jejaring sosial seperti twitter atau fesbuk, dan bahkan media yang sifatnya lebih privat seperti short message service (sms) atau blackberry messenger (bbm). Hampir tak ada hari kosong tanpa makian.
Memaki itu memang gampang. Ia juga tampak menjadi sesuatu yang manusiawi. Kapan? Mungkin pada saat orang merasa frustasi, marah atau tidak puas dengan keadaan. Dalam keadaan itu, memaki memang paling enak. Boleh jadi nggak perlu bayar, nggak perlu mikir dan nggak perlu merasa apa-apa kecuali sedikit puas karena terlampiaskan.
Repotnya, memaki yang galibnya adalah respon emosional atas keadaan, sekarang bergerak maju. Ia seolah telah menjadi kebiasaan dan bahkan keyakinan. Dasarnya bukan lagi keadaan yang tidak memuaskan, tetapi rasa tidak suka. Entah kepada orang atau institusi tertentu. Pada tingkat yang lebih tinggi, dasar makian bergeser lagi: kebencian!
Jika makian didasarkan pada keadaan, itu masih understandable. Logikanya: jika keadaan membaik, makian hilang dan muncul pujian. Tapi jika makian didasarkan pada rasa tidak suka atau bahkan kebencian, perubahan keadaan tidak akan merubah makian jadi pujian. Perbaikan keadaan akan ditolak dengan segala macam argumen. Niat baik orang lain, jika ada, segera dikandaskan.
Sadar tak sadar, bangsa ini seperti sedang mengarah ke sana. Memaki sebagai penanda respon kehilangan konteksnya. Sasarannya adalah lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga demokrasi. Atas nama rakyat, kita boleh memaki apa saja dan siapa saja. Jangan tanya soal masukan atau solusi, itu hal yang hampir tak terpikirkan. Paling banter solusinya begini: anda turun, saya disitu!
Ironisnya, media massa suka dengan makian. Makin keras kita memaki, makin seksi kita di mata media. Makin keras kita menghujat, makin sering kita dicari wartawan. Makin agresif kita menyerang, makin besar ruang kita untuk tampil.
Lantas, dari mana kita belajar kelembutan jika ia dianggap tak berguna? Dari mana kita belajar kearifan jika ia dianggap tidak seksi? Dari mana pula kita memahami pentingnya harmoni jika ia dianggap penghalang rezeki?
Makian itu respon manusiawi. Jika ia didasarkan pada keadaan tak memuaskan, ia harus muncul dengan solusi. Jika tak didasari dengan hati dan nalar jernih, makian merusak hubungan kemanusiaan. Kemajuan apapun dalam hidup kita, pantas untuk diapresiasi. Tak peduli besar atau kecil. Dengan begitu kita menjaga nafas, menjaga harapan agar tetap ada.