Mohon tunggu...
M. Hanif Dhakiri
M. Hanif Dhakiri Mohon Tunggu... Buruh - Aktivis

Orang biasa yang berusaha menjadi luar biasa untuk orang lain dan bangsa. . . Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019. Wakil Ketua Umum DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) 2019-2024 Bidang Ideologi dan Kaderisasi. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA-PMII). . . Live well, rule well, die well.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opini dan Anonimitas Berita Media

26 Agustus 2014   08:11 Diperbarui: 8 November 2018   03:07 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: IncubateIND

Jakarta, 22 Agustus 2011

Resah dan gemas! Itu perasaan saat kita membaca berita media massa dewasa ini. Keresahan dan kegemasan itu muncul karena sebagian berita cetak dan online khususnya, sering menampilkan dua hal yang patut dipertanyakan. 

Pertama, tampilnya opini redaksi dalam berita yang dibuat. Kedua, sering digunakannya narasumber anonim atau sumber yang tak jelas seperti surat kaleng, sms maupun bbm yang tidak beridentitas. Ironisnya, hal itu bahkan dilakukan oleh kantor media massa yang sudah punya nama dan tergolong arus utama.

Dua masalah dalam berita itu sering dikeluhkan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Tetapi sejauh ini belum ada penjelasan yang memuaskan mengenai dua perkara itu. Tak jarang berita dengan dominasi opini redaksi maupun sumber anonim itu dianggap sebagai kebenaran. Padahal basisnya tidak jelas dan lebih merupakan gosip-gosip yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Dalam keadaan seperti itu, korban boleh dikata tak berdaya. Betapa tidak, seorang presiden yang dipercaya memiliki kekuasaan riil-pun tak jarang takluk dan mengeluh dengan kecenderungan semacam itu. Ia merasa tak bisa berbuat apa-apa menghadapi berita media yang tak bertanggung jawab. Bayangkan! Seorang presiden saja begitu takut menggunakan kekuasaannya untuk mengurangi atau menghentikan praktik pemberitaan tanpa dasar itu. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh orang biasa yang menjadi korban berita sumir begitu?

Presiden bisa saja membredel media yang berulang-ulang menampilkan pemberitaan subyektif dan sumir. Tetapi ia pasti takut dan nggak mau disebut otoriter. Ia takut dianggap melanggar kebebasan pers. Ia takut dianggap membunuh demokrasi. Namun, ia mungkin juga tidak tahan dengan kecenderungan demikian yang menjadi-jadi. Dilematis! Begitu kira-kira, dan akhirnya yang keluar hanya keluhan dan keluhan, bukan kebijakan.

Rasanya kita patut bertanya: Apa sebenarnya makna dari kebebasan yang bertanggung jawab itu secara operasional? Lalu apa solusi dari masalah itu dalam suatu masyarakat demokratis?

Jika atas nama "kebebasan pers" itu media massa boleh menampilkan berita tanpa sumber yang jelas, berarti kebebasan satu pihak boleh menabrak kebebasan pihak lain. Hal itu sama artinya dengan pengabsahan hukum rimba dalam dunia modern. Bukankah hukum rimba tidak mengenal norma batasan atas kebebasan? Bukankah kebebasan seseorang atau suatu pihak dibatasi oleh kebebasan orang atau pihak lain? Norma batasan atas kebebasan itulah yang kiranya kita sebut sebagai bertanggung jawab. Ia, pendeknya, menolak kecenderungan "semau gue".

Lalu, jika atas nama "kebebasan pers" itu pemilik atau redaktur media massa boleh untuk menampilkan opininya sendiri, berarti media massa bukanlah wahana publik. Bukankah wahana publik semestinya memakai norma obyektifitas publik juga? Jika demikian halnya, media massa tak boleh disebut wahana publik, melainkan wahana pemilik modal atau para redakturnya. Dalam konteks televisi dan radio, mereka berarti tidak boleh menggunakan frekuensi yang nota bene milik publik.

Kritisisme terhadap kinerja media massa itu pada dasarnya hendak meletakkan mereka sebagai bagian dari publik dan karenanya patut menjunjung tinggi etika publik dan menghargai eksistensinya. Jangan sampai karena kepentingan bisnis lalu kepentingan publik dikorbankan. Obyektifitas ditenggelamkan ke dalam retorika-retorika kebebasan pers. Sebagai bangsa, kita tidak akan pernah maju karenanya.

Lantaran fenomena pemberitaan media massa yang memprihatinkan itu, seorang sahabat saya sampai berkesimpulan begini. Menurutnya, media massa itu pada dasarnya adalah bisnis. Ideologinya bernama rating (untuk televisi), oplah (untuk media cetak), hits (untuk media online) dan pendengar (untuk radio). Core bussiness mereka adalah konflik, pertentangan apapun dalam masyarakat. Goal mereka adalah profit, keuntungan sebesar-besarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun