Catatan Harian, 8 Agustus 2014
Ruang publik Indonesia sedang heboh soal Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Istilah Indonesia-nya Negara Islam di Irak dan Syiria (NIIS). Media massa cetak maupun elektronik dipenuhi berita seputar kiprah ISIS dan penolakan banyak kalangan atas keberadaan organisasi Islam radikal itu di Indonesia.
Kehadiran ISIS di Indonesia ditolak oleh semua Ormas Islam, tak terkecuali Hizbut Tahrir Indonesia (HTI, Partai Kemerdekaan Indonesia) dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Ini menarik karena HTI dan JAT sesungguhnya memiliki misi yang sama dengan ISIS, yakni menegakkan sistem khilafah atau sistem pemerintahan Islam.Â
Mereka ingin mendirikan negara Islam sebagai alternatif dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), suatu negara demokrasi dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Lantas, mengapa HTI dan JAT ikut menolak ISIS? Bukankah misi mereka sama-sama ingin mendirikan negara Islam?
Pada tataran inilah sebenarnya kita bisa mencermati respon politik atas kehadiran ISIS. Gerakan politik radikal pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu menampilkan dua wajah utama. Pertama, Islam formal yang romantis, utopis dan semu sebagai basis ideologi. Kedua, perang, kekerasan dan teror sebagai metode untuk meluaskan pengaruh politik maupun penguasaan teritorial.
Melalui media massa, terutama televisi, publik dunia mengenal ISIS sebagai kelompok militan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik yang dibungkus agama. Atas nama Islam, mereka mengabsahkan pembantaian, pembunuhan dan teror kepada kemanusiaan. Dalam kesadaran kita sebagai bangsa yang beradab, pola gerakan yang dipakai ISIS jelas bertentangan dengan Pancasila, nilai-nilai kemanusian dan norma semua agama.
Sepak terjang ISIS yang berlumuran darah tampak jelas menjadi sebab utama mengapa semua Ormas Islam dan juga kalangan lain menolak keberadaannya di negeri ini. ISIS jelas bukan gerakan Islam, melainkan gerakan politik radikal yang menggunakan Islam sebagai alat propaganda politik dan perang. Kita bersyukur dan mengapresiasi sikap politik Ormas-ormas Islam yang menolak ISIS itu.Â
Namun demikian, ada pertanyaan hipotetis yang menarik. Seandainya ISIS tidak menggunakan metode kekerasan dalam memperjuangkan tegaknya sistem kekhalifahan Islam, apakah organisasi Islam semacam HTI dan JAT akan tetap menolak ISIS?Â
Di sini kita membincang eksistensi NKRI dan Pancasila sebagai ideologi negara dan posisi politik ideologi penantangnya. Pancasila dan NKRI merupakan komitmen politik seluruh entitas bangsa Indonesia, termasuk kalangan Islam, yang telah melalui proses berdarah-darah dalam sejarah. Di bawah NKRI dan Pancasila, Indonesia menjadi negara demokrasi yang berketuhanan dan inklusif untuk semua golongan.
Secara historis, sosiologis, kultural dan politik, Pancasila dan NKRI adalah final. Keberadaannya menyatukan seluruh entitas politik dalam ruang kebangsaan yang majemuk. Menantang Pancasila dan NKRI secara politik tentu saja tidak dibenarkan dalam sudut pandang apapun. Terlebih, hal itu akan mengancam keutuhan negara-bangsa Indonesia.
Eksistensi ideologi di luar Pancasila tentu saja tidak masalah selama ia tidak diorganisasikan secara politik. Diskursus ideologi merupakan bagian dari ekspresi kebebasan yang dijamin undang-undang. Namun, pengorganisasian politik atas dasar ideologi yang bertentangan dengan Pancasila jelas tidak bisa dibenarkan dan bisa dikategorikan sebagai tindakan makar kepada negara.