Mohon tunggu...
Hanif Amin
Hanif Amin Mohon Tunggu... -

saya seorang blogger yang sangat suka menulis... jika kawan ingin tahu lebih banyak tentang saya, kunjungi blog personal saya di

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hujan Deras di Ketenangan Sore

31 Oktober 2014   20:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:02 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hujan deras mengguyur Mataram, membersihkan udara-udara kotor asap kendaraan sepanjang hari. Mataram, yang dulunya tenang ikut terguyur tetesan demi tetesan manusia yang membuatnya semakin berhiruk-pikuk. Bangunan besar mulai dibangun, asap kendaraan mulai membumbung, dan kemacetan mulai melanda. Tapi pohon-pohon rindang sepanjang jalan tetap setia memberikan oksigen bagi nafas masyarakat, meskipun asap kendaraan yang terlampau banyak membuat Mataram semakin panas setiap harinya.

-Beberapa hari ini Mataram panas sekali, dan aku yakin panasnya akan lebih menjadi-jadi. Karena rasa-rasanya setiap tahun panas matahari kian menyengat membakar tubuh. -

Pohon-pohon rindang itu sekaligus tetap memberikan sentuhan khas Mataram yang tak pernah hilang.Membentuk sebuah simfoni yang sangat bernuansa ‘Mataram’ bersama masjid-masjid, pura-pura, aliran Sungai Jangkok, dan kicauan burung dengan formasi keindahannya dikala senja. Hal-hal itu seolah mengingatkanku, sekalipun Mataram mulai padat, ramai, dan asap kendaraan kian mencekam bersama pengaruh globalisasi (baik dan buruk) yang menerpa-nya, Mataram tetaplah Mataram.

Karena Mataram memiliki sebuah hal khas yang sulit dijabarkan dengan kata-kata. Keramahan penduduknya, suara ‘tak-tik-tuk’ kaki kuda Cidomo, pohon-pohon hijau yang rindang, masjid-masjid, pura-pura , aliran Sungai Jangkok, dan kicauan burung di senja hari meramaikan kota Mataram bersama tawa anak-anak yang membuat hati tertawa, bahagia. Yang membuat Mataram tetaplah Mataram, walaupun hiruk-pikuk perkotaan telah sangat terasa. Ya, itulah Mataram yang tetap saja menyimpan sifat aslinya. Bagaikan emas yang tetaplah emas biarpun ada di kubangan lumpur kotor.

-Suatu hari aku melewati sebuah jalan kecil yang sepi dengan rindangnya pohon dan kicauan indah burung. Membuatku merasakan nyanyian alam Mataram yang sangat asli, dan begitu lembut. -

Mataram, kotaku… 23 Oktober pukul 4 sore hujan datang menyapamu…

Memberimu air segar yang sangat banyak dari langit setelah Tuhan memerintahnya. Kembali menyapamu di bulan Oktober ini, memberi air segar yang menyergarkan udara, badan, dan pikiran. Pohon-pohon bergembira mendapatkan limpahan air, mengekspresikannya dengan daun dan ranting yag bergoyang-goyang. Hujan juga mententramkan hati, bagi siapa yang mengagumi dan bersyukur atas anugerah Tuhan berupa hujan.

Udara segar yang sangat terasa beserta gemericik-gemericik suara hujan di rumahku yang tenang, hening, dan bersahaja. Memberiku kenikmatan yang membuatku sangat bersyukur. Kuhirup dan kunikmati banyak oksigen-oksigen segar dikala hujan ini, lalu kuhembuskan karbondioksida, dan menyadari betapa hujan ini adalah rahmat yang harus disyukuri. Lalu menikmatinya… Bagi siapa yang mau menikmati…

-Hey hujan! Aku sangat berterima kasih atas kedatanganmu, aku sangat senang atas kehadiranmu menemaniku membaca novel paling tragis yang pernah kubaca di ketenangan sore ini. Suara gemericik airmu yang syahdu, sangat kunikmati. Ingin rasanya aku keluar, menyapamu, kemudian membiarkan tubuhku basah oleh air-air-mu. Lalu aku bermain sendiri, menyapa alam, pohon-pohon, dan burung-burung yang sedang berteduh dengan bahasa yang keluar begitu saja dari hati dan tersampaikan melalui mimik-mimik wajah dan gerak tubuh.

-Hey hujan! Aku tak ingin kau pergi, terus saja membasahi Mataram supaya kota ini bersih. Tapi aku tahu, semenit saja terlambat pulang, kau mungkin bisa menjadi bencana. Allah Maha Tahu, karena itu janganlah kau kecewa ketika hujan turun atau hujan itu pulang meninggalkan kita. Kau harus menerimanya, kawan. Karena Allah Maha Tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

-Hey hujan! Pergilah… Aku rela melepas kepergianmu sekarang. Karena aku tahu, itu yang harus terjadi. Karena anugerah ini bisa berubah menjadi bencana. Karena aku tahu, kau telah memberiku pelajaran, jika kita harus belajar menerima kepergian orang yang kita cintai. Karena itu adalah kehendak-Nya, yang Maha Tahu. Hujan… Kau telah memberiku banyak sekali pelajaran. Yang hanya akan tersampaikan bila kita mau menelaah lebih jauh. Bila kita mau berfikir.

Pukul 6 sore, hujan pergi, meninggalkan banyak pelajaran bagi siapa-siapa yang mau berteman dengannya…

Terima kasih Allah, engkau telah memberikanku banyak anugerah dan pelajaran. Alhamdulillah…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun