Minggu-Minggu ini, saya kecanduan dengan Soe Hok Gie (filmnya, bukunya, dan kepribadiannya).
Awalnya, teman saya Riyandi memberikan sebuah film berjudul 'Gie' pada saya saat jam prakarya - Prakarya adalah jam yang amat membosankan sekaligus seru (?). Karena yang pak guru saya lakukan adalah : mengumpulkan tugas siswa, memberikan tugas membuat powerpoint yang dikerjakan di rumah, selesai dan kita harus menunggu 90 menit sebelum jam selesai. Untungnya saat jam prakarya kita diminta membawa laptop, akhirnya kerjaan yang dilakukan adalah nonton atau main PS (Well, anak kelas sebelah bawa stick setiap harinya, kita memang anak-anak nakal, Hahaha...). Ya, karena saya anak nakal jadinya ya main PS aja (mungkin lebih tepatnya game ps yang ada di pc), santai tanpa ada guru yang ngintai karena toh, di kelas juga gak ada CCTV-nya. Jadi ya aman-aman saja.
Tapi yang paling parah di jam Prakarya adalah semua film yang kita dengar nggak ada suaranya. Saking ributnya kelas 7b jadilah polusi suara sialan. Karena itu pokoknya harus ada subtitle setiap nonton film. Walau saya kurang tertarik karena film teman-teman saya genre action semua. Membosankan. Cuma pukul-pukul saja. Jalan ceritanya kurang menarik. Film yang bagus adalah film yang bisa membuat orang di film itu menjadi merasa, menjadi tersentuh hatinya, ya.. Kurang lebih membuat penonton menjadi seorang yang merasakan penderitaan atau perasaan apapun yang dialami tokoh secara mendalam. Bukan cuma liat adegan gdebak-gdebuk aja.
Tapi toh semua orang juga punya selera masing-masing. Saya tak bisa mengutuk orang yang tak suka selera saya. Saya tak bisa memaksanya, karena semua orang punya selera berbeda-beda. Tapi dalam konteks ini (film), saya rasa semua orang juga setuju sama saya. Hohoho...
Kembali ke topik mengenai Soe Hok Gie. Saat saya lihat film-nya, awalnya gak begitu ngerti sih.. Tapi setelah beberapa lama baru mulai ketahuan jalan ceritanya. Cukup menarik, tapi begitu baca novelnya (Catatan Seorang Demonstran - saya pinjam dari teman saya), semua jadi jauh lebih jelas. Karena itu saya lebih suka baca novel dari pada nonton film adaptasi novelnya. Bagaimanapun serunya aksi dan adegan-adegan riel-nya, saya lebih suka novel. Novel membuat jiwa kita lebih tersentuh dan mata kita membayangkan apa yang terjadi. Novel lebih lengkap dan dengan kata-katanya itu membuat saya jadi tersentuh hatinya. Tapi sekali lagi, ini hanya soal selera. Dan juga, novel Catatan Seorang Demonstran belum saya tamatkan. Tapi dari awal sudah kelihatan keasyikannya. Walau kesan saya pada diary pada masa smp-nya terasa membosankan saat menceritakan hari-harinya tapi makin lama anda akan dapatkan rasa candu.
Soe Hok Gie diceritakan (atau dia yang menceritakan keadaannya melalui buku harian lalu diadaptasi jadi film dan novel) sebagai seorang terpelajar yang berpikir kritis dan berani mengkritik gurunya kala itu (bila gurunya salah). Menurut saya (yang juga seorang pelajar yang terpelajar) mengkritik guru adalah hal yang cukup jarang dilakukan dan tidak berani juga murid lakukan. Namun setelah membaca Soe Hok Gie hati saya semakin tergugah. Ya, niat saya sekarang adalah selalu menentang yang namanya kesalahan dan memperbaikinya sekecil apapun itu. Siapapun yang bilang, jika saya rasa ada kesalahan saya coba perbaiki sesuai dengan wawasan yang saya miliki. Untungnya saya sering baca buku, jadi saya merasa wawasan saya cukup untuk menghadapi hal-hal disekitar (meski terkadang saya merasa sungguh bodoh, dan itu memang benar jika saya dikaitkan dengan orang tertentu diluaran sana). Tapi intinya adalah Soe Hok Gie berani untuk menentang gurunya yang salah dan berdebat, walau diceritakan jika gurunya sering menghindari kritik Soe Hok Gie.
Tapi kata-katanya yang menggugah adalah :
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa, dan murid bukan domba.
Dan juga, saat masa mudanya ia telah sering menerbitkan tulisan-tulisan penentangan terhadap pemerintah Orde Lama dan Orde Baru, alias Sukarno dan Suharto. Ia menghormati Sukarno sebagai founding father Indonesia tapi tetap tak menerima bagaimana ia bisa mengkhianati prinsip kemerdekaan itu sendiri. Bagi saya ini adalah tindakan yang sangat berani, menggugat presiden seumur hidup kala itu dan langsung mengkritik dengan tulisan-tulisan (yang diterbitkan untuk masyarakat) yang bahkan terkadang menyebutkan nama menteri yang diduga korupsi. Sangat berani, mengingat jaman itu bukan seperti sekarang, Sukarno sangat berkuasa. Karena memang, yang dibutuhkan dalam menegakkan kebenaran itu cuma keberanian untuk menyatakannya.
Mungkin segitu dulu cerita mengenai Soe Hok Gie, tidak perlu banyak-banyak karena saya ingin ambil intinya. Bila ia menolak kemunafikan dan menegakkan kebenaran. Dan untuk menegakkan kebenaran, yang dibutuhkan bukan hanya wawasan, kesadaran hati, tapi juga keberanian untuk menolak. Kita bukan bicara mengenai siapa yang lemah atau kuat, tapi mana yang benar dan salah.
Tak peduli sekuat apapun ia, selagi kita masih berani menegakkan kebenaran maka kita sudah menjadi seorang yang benar dan berani, bukan penjahat. Karena bagi saya, orang yang tak berani menyatakan (menegakkan) kebenaran sama saja dengan penjahat yang melakukan kejahatan itu sendiri, karena membiarkannya terus berbuat jahat. Karena itu, tetapkan tekad anda mulai sekarang dan camkan dalam hati jika kita tidak bicara mengenai mendukung siapa yang kuat atau lemah, tapi mana yang benar dan salah. Teruslah tegakkan kebenaran. Jangan takut dan malu salurkan pendapat anda. Karena toh, sekarang orang bebas menyampaikan pendapatnya.