Mohon tunggu...
Tri Wahyu Handayani
Tri Wahyu Handayani Mohon Tunggu... Dosen - menulis untuk kebaikan

dosen, penulis, narablog di haniwidiatmoko.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memahami Ekofeminisme Dalam Gerak Perempuan untuk Kehidupan yang Lestari

24 April 2022   23:27 Diperbarui: 24 April 2022   23:33 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata feminisme mungkin yang terlintas adalah demo atau gerakan sosial dari para perempuan untuk kesetaraan gender dan kebebasan dalam segala hal. Bahkan sering disalah artikan sebagai ideologi yang membenci laki-laki.

Bagaimana dengan ekofeminisme?

Paparan dan pengertian tentang ekofeminisme saya baru dengar dalam suatu acara webinar yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, dalam rangka Hari Kartini, Hari Bumi, dan Hari Tari.

Tiga peristiwa sekaligus di bulan April yang semuanya bersinggungan dengan perempuan. Kebetulan webinar ini juga diisi oleh 3 perempuan hebat yaitu Antik Bintari, Ramalis Sobandi, dan Saras Dewi.

Webinar dengan judul 'Gerak Perempuan untuk Kehidupan yang Lestari', Sebuah pendekatan Ekofeminisme.

Dalam budaya keseharian perempuan seringkali dikaitkan dengan persoalan keindahan, baik dalam pandangan umum maupun dalam lingkaran perempuan itu sendiri. Mengikuti berbagai gelombang kebudayaan, ‘kecantikan’ atau persepsi keindahan pada perempuan pun turut berevolusi.

Perempuan dan Lingkungan

Sesi pertama webinar disampaikan oleh Antik Bintari, seorang dosen FISIP UNPAD, yang dengan kerenyahannya mempertanyakan, seberapa cantik lingkungan menilai seorang perempuan.

Konsep kecantikan menurut Antik, terbagi menjadi dua paradigma tradisional dan modern. Paradigma tradisional menempatkan perempuan dari sudut pandang budaya yang dikenalkan secara turun-temurun. Kita lihat di pelosok Kalimantan ada suku Dayak yang perempuannya mempunyai kebiasaan bertelinga panjang. Mereka ini memasang logam pada cuping telinganya sehingga menggelambir. Semakin panjang maka semakin cantik.

Sedangkan paradigma modern, standar kecantikan dibawa oleh jenama produk kecantikan dan perawatan wajah. Maraknya iklan, media online, dan media sosial, semakin menggusur berbagai nilai budaya di seluruh pelosok negeri.

Bahwa nilai kecantikan menjadi sama, kulit putih dan mulus bak artis Korea.

Padahal Antik Bintari di akhir paparannya justru menentang adanya konsep kesamaan tersebut. Perempuan harus mempunyai kebebasan untuk memaknai potensi dirinya masing-masing. Cantik adalah bebas dari diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun