Mohon tunggu...
Hani La Shifa
Hani La Shifa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Secangkir mendung di bawah langit teh hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja yang Tamak

23 Mei 2018   18:07 Diperbarui: 23 Mei 2018   18:12 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: getwallpapers.com

Dulu aku suka senja. Suka saja. Ia selalu menampakkan keindahan dan kedamaian di setiap hadirnya. Ia membuatku berangan tentang akhir dari setiap dongeng yang pernah kubaca. Ia membuatku berdamai dengan setiap sendu yang ku jumpai. Menikmati rindu dan merelakannya bersama orang lain.

Senja mengajariku banyak hal. Mengenalkanku pada aroma petrichor yang terkuar sesaat setelah hujan. Aku sering menghabiskan waktu dengannya. Sekedar menyesap secangkir teh panas di sudut jendela tua rumahku. Aku selalu rindu pada caranya memanggil namaku, menanyakan kabarku, berbagi sajak tentang rasa, ataupun sekedar menertawakan peliknya dunia bersama-sama. 

Senja juga selalu mengingatkanku tentang kesederhanaan dan kasih sayang. Ia mengingatkanku tentang rumah dan masa lalu. Sedikit menjamah keterdiaman dan keenggananku menilik kembali cerita-cerita lampau. Walaupun terkadang hal itu membuatku menangis saat mengulasnya. Entah kenapa ia selalu berhasil membuatku kembali tersenyum. Seringkali Ia datang bersama angin kecil yang menarik-narik lembut ujung rambutku yang tergerai. 

Awalnya aku mengira ia akan mengantarkanku pada kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun aku salah. Ia malah membawaku pulang. Pada akhirnya semua orang memang harus pulang, bukan? Meskipun terkadang rumah tak ingin lagi kusinggahi. Pada rumah aku pulang, namun pada gelap aku berangkat. Ternyata semua keindahan yang ditawarkan senja memang hanya untuk mengantarkanku pada gelap.

Lalu tetiba saja senja pergi membawa semua yang kumiliki. Aku dititipkan pada gelap yang didalamnya tanpa petrichor, tanpa teh, tanpa cerita, pun tanpa terang. Hanya aku dan gelap. Mungkin ada rindu yang ia tinggalkan. Namun rindu tak pernah ingin tinggal. Ia datang bersama kenangan pada yang sakit, kemudian pergi bersama harapan. 

Kini aku tidak lagi menyukai senja. Namun tetiba ia kembali membawa rasa. Bersikap seolah semua baik-baik saja. Tentu saja aku tak lagi percaya. Namun ketika pada saatnya ia harus pergi, Ia telah membawa hati. Sekeping hati yang tengah ku jaga selama ini. Sekeping hati ini tengah ku rawat baik-baik.

Ku simpan dalam-dalam agar tak seorangpun mendapatkannya dengan mudah, lalu merusaknya. Aku tengah menyiapkannya agar tumbuh menjadi hati yang utuh untuk seseorang yang benar-benar menginginkannya hingga mencarinya dalam-dalam. Namun aku lalai. 

Hati yang terbawa oleh senja membuatku mulai berharap. Aku berharap suatu ketika ia memilih untuk tinggal atau hadir lebih lama dari sekedar sapa. Aku berusaha berdamai dengan kata "sejenak" dan "singgah", yang keduanya mempertemukanku pada kesementaraan.

Namun mereka tak pernah memberikan kesempatan untuk "selamanya" padaku.  Tak apa, aku masih menikmati perbincanganku dengan kata "menunggu" meski gelap akan selalu menenggelamkanku pada kekecewaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun