Kini tak peka rasanya pemerintah dalam hal literatur, mungkin memang mereka dipilih bukan karan gagasan ide-ide yang visioner namun dipilih atas pecitran yang miskin gagasan. Tak penat rasanya dalam menyuarakan, bahkan sering dalam tiap tulisan kusisipkan pesan Defisit Literasi, pentingnya Literasi dibeberapa opini saya. Karna bagi saya, ini sangat penting untuk massa depan peradaban. Saya pernah dengar sebuah pepatah mengatakan "Peradabab tertinggi adalah peradaban Buku".
Munculnya gerakan literasi jalanan sbenanya memberikan pentanda dan penanda bahwa benar adanya bahwa tingkat litertur bangsa Indonesia sangatlah rendah. Hasil studi yang dipublikasikan dengan nama "The World's Most Literate Nations", menunjukan Indonesia berada di peringkat ke-60,hanya satu tingkat di atas Botswana. Rasanya pantas disematkan negara berkembang atau negara terbelakang. Melihat hal itu bukan tidak mungkin muncul gerakan-gerakan empati, gerakan-gerakan kesadaran yang saya pikir pantas layak diucapkan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Tabik buat mereka yang senantiasa dalam perjuangan!
Menurut data media tahun 2019 lalu saat ini, jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 164.610 unit, hal ini menempatkan Indonesia berada diposisi kedua perpustakaan terbanyak di dunia, urutan pertama ditempati India dengan 323.605 unit. Dengan posisi kedua dunia Indonesia masih terbilang rendah dalam hal membaca. Bahkan riset perpustakaan nasional 2017 menyatakan, frekuensi membaca orang Indonesia 3-4 kali per Minggu dengan lama membaca per 30-59 menit. Jumlah buku ditamatkan per tahun 5-9 buah.
Hasil-hasil data ini sangat memperihatinkan. Bukan tidak mungkin berdampak pada fenomena Hoaxs dimanah-manah bahkan berpengaruh juga pada penurunan kualitas SDM secara langsung.Â
Harapan Bonus Demografi
Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi. Bonus demografi adalah suatu kondisi dimana komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif. Penduduk usia produktif adalah penduduk yang berada pada rentang umur 15-64 tahun.
Melihat permaslahan diatas. Pertanyanya adalah apa yang bisa kita lakukan disaat Indonesia kini terpuruk dalam hal literasi? Jawabanya adalah seberapa sadarakah kita! Dalam membangun sebuah peradaban Atlantis Indonesia, peradaban literatur yang tinggi akan menunjang, disaat pendidikan skolah menjelama menjadi sarang pendidikan feodal. Sekolah adalah candu! Â bonus demografi apakah akan dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah atau malah sebaliknya. Disinilah pentingnya pemimpin yang bercarakter "nation" sekaligus bijaksana, berakhlak baik pada kebijakan-kebijakn yang pro-rakyat. pemimpin yang berkarakter akan mengarahkan pada masyrakat yang bercarakter. Tentu hari ini sulit mencarik sosok pemimpin yang salah satunya seperti Hattaisme. Elite politik harus banyak belajar pada pendiri bangsa yang sudah berhasil mengantarkan kedepan pintu gerbang dengan selamat sentosa.
Dari pada itu "Indonesia tidak boleh menjadi pemain dari suatu bagian kecil dunia saja" ucap bung Karno kala itu menegaskan dengan berapi-api pada forum PBB, juga sebenarnya mengingatkan kita pada saat ini. Namun seperti yang sudah terjadi paska runtuhnya pimpinan besar revolusi itu, arus globalisasi yang kian deras merambah pada cengkraman yang kuat mengerogoti keseluruhan tiap-tiap kebutuhan manusia, hingga saat ini tidak terbendung. Dalam permasalahan ini bisa ditemui seberapa banyak produk asing disekeliling kita.
Menurut Prof. Yudhi Haryono, "...negara konsumen menyalahi makna kemerdekaan dan kedaulatan. Itu artinya, saat barang-barang yang kita konsumsi terus menerus didatangkan dari luar negeri (impor), berarti kita telah mengkhianati cita-cita para pendiri Indonesia: berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan".
Disinilah peran kesadaran pemerintah dalam mengambil alih untuk mewujudan UUD 1945, yang salah satunya "mencerdaskan kehidupan bangsa". Infrastruktur otak mesti menjadi hal yang paling penting saat ini, ketimbang angaran APBN dibesarkan pada institusi yang terkenal "pengayom masyarakat". Ini sangat krusial, Jangan sampai kita hanya jadi bangsa penonton yang bonus demografinya hanya harapan semata. Revolusi kecerdasan harus dipupuk kembangkan menjadi investasi jangka panjang. Bukan lagi membicarakan hal yang remeh temeh seperti pelarangan buku-buku yang dianggap konon mengancam kedaulatan pikiran. Hanya peradaban yang dangkal dan sempit pikirnya, yang ketinggalan jauh dimanah ketika negara-negara maju sedang berlomba dalam banyak hal kecangihan teknologi.