Mohon tunggu...
Nadim AlLande
Nadim AlLande Mohon Tunggu... Penulis - Study Sosiology

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjungpinang. Bercita-cita ingin abadi, dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Sebuah Permulaan" #01

2 November 2019   19:49 Diperbarui: 2 November 2019   20:09 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah ditahun yang tidak bisa saya prediksi. Perjalanannya cukup panjang. Namun tidak ada arsip/ dokumen yang tersimpan untuk mengkisahkan riwayat perjalanan itu.Dari kecil aku anak yang paling suka mendengar dan dikisahkan cerita cerita dongeng yang sangat menarik oleh ibuku. ibuku seorang pendongeng yang cerdas, seorang pembual yang mampu menajamkan imaginasiku tapi dia bukan seorang yang berskolah tinggi. Namun kala itu entah hari apa, kakeku ingin berbagi kisah, kakeku itu inggin menceritakan sebuah kisah legenda yang pernah terjadi di dalam keluaraga yang sejarahnya diceritakan secara turun temurun. Kakek sebelah bapak!. Kakek laki-laki di daerahku dipanggil nek. Aneh bukan, biasanya nenek itu hanya sebutan untuk  perempuan. Lain pulau lain bahasa.Begini wang, zaman dulu tu (Dialek Melayu).


"Nenek moyang kite tu pernah terjadi musibah ketike terjadi perjalanan laut (belayar). Diterpe badai ngarok na angen, gelumbang. Sangking kuat die kapal yang di naikinye tu hanco. kalau angen gelombang dah ngamok. Jangan main-main"


"Hadoh ngeri nek",
"Auk awang ahk ..."
"Habis tu ape lagi nek"
"Habis tu gelombang yang kuat tu menghancur kapal yang hanya terbuat dari kayu. Seketike pule tungang langang berkecai karam manusie dan barang bawaanye hancur. Tapi tak dicerite  berape orang  yang ikut dekat dalam kapal. Seketike nenek moyang(leluhur) kite tadi selamat, entah itu kuase ilahi atau apelah sebutanya tu.  Alhamdulilah die selamat. Die kene selamat dengan  ikan hiu."
"ikan hiu ?...(nada tekejut)
"terus nek.." ucapanku yang penasaran.
"terus die kene bawak dekat pantai".
Kok lame nenek moyang kite tu beterime kaseh dan die bersumpah.
"aku bersumpah tujuh keturunanku tidak akan memkan ikan hiu".


Benar atau tidak kisah tersebut, memang dalam keseharian bahkan  praktek hidup kami. satu pun hingga hari ini tidak ada yang berani menyentuhnya apa lagi memakanya. Apabila kami memaknya akan timbul penyakit kulit yang aneh. Kepercayaan ini sempat pernah terjadi, konon salah satu keluarga ada yang mengalami kutukan tersebut. Hingga saat ini kami sangat taat pada aturan sumpah dan kepercayaan tersebut.
Sulit diterima oleh akal sehat, namun bergitulah saya anggap sebagai sebuah kearifan local.


Setelah mendengar kisah ini, aku tergiang dan selalu resah. Karna di kisahkan benar itu sejarah terjadi.


Sebelum itu pagi yang cerah menamani sebuah cerita. nama ku Muhammad Azis, aku tinggal di pesisir pulau yang kecil dan mungil. Di daerahku salah satu wilayah yang sangat bersejarah "Selat Malaka", siapa yang tak kenal selat malaka salah satu jalur dagang lintas Internasional. Bapaku seorang perantau nun jauh di negeri jiran hingga menetap disana menjadi warga Negara sana. Ibuku seorang wanita pekerja rumah tangga yg tanguh. Aku mengimpikan sesosok wanita setanguh dia semulia-mulianya, semuanya ada disisihnya. Keikhlasan, ketulusan, dan kesetiaanya siapa ada didunia tandingan wanita seperti itu. Barang kali sulit ku temui wanita sehebat ibuku itu. dan aku sangat menyayangi ibuku.
Kala kelahiranku, ibu becerita. Di bulan puasa, Tahun itu Listrik mulai masuk. Juga tanpa suami yang menemani ketika lahiran anak ke-tiga dari empat bersaudara satu ini. Siapalah yang tau, hati wanita manah dimuka bumi ini yang tidak sedih.
Tidak lama kesedihan tangisan kecilku memekik membangkitkan semnagat ibuku dikala suaminya tida berada disisihnya. Ibuku wanita yang tangguh. Sungguh aku inggin memiliki wanita yang setanguh ibuku.
Tidak juga menyalahkan, bergitulah nansib tinggal di pesisir pulau perbatasan. Serba sulit, terjepit, pekerjaan nelayan. Angin kuat sulit melaut, ikan kadang dapat kadang tidak. Rezeki siapalah tau. Jadi nelayan itu susah.
Hidup dipulau itu juga serba susah, tidak bekerja di cemohin. Apalagi pendidikan kala itu sangat susah ditemui. Mau tidak mau hanya pendidikan agama. Sekolah formal dulu mungkin hanya untuk golongan orang-orang berada. Adapun itu jauh!
Pendidikan Agama oleh kakekku itu sangat keras. Bahkan jadi bawaan bapaku ketika mendidik pendidikan Agama terhadapku. sangking kerasnya aku sering dihajar dengan papan leha, rotan dan ll. Itu sudah menjadi kebiasan, dan aku Cuma bisa menangis.


Pendidikan Agamaku oleh orangtuaku keras. Kalau jago bacan hapalan ayat-ayat aku disanjung-sanjung oleh kakeku.
Kakekku seorang guru ngaji, juga bisa dibilang kiay kampung. Semua masyarakat pulau belajar agama dengan beliau.
Memang aku tidak mampu untuk mengikuti jejaknya, sangat relgius. bahkan Sempat dikisahkan oleh orang-orang waktu tivi masuk pertama kali, dia sangat anti terhadap yang membuat manusia lalai.


Aku salah satu anak yang senang bermain, membaca, keras kepala selalu inggin mencarik tau sesuatu yang belum pernah aku tau. Yaa namanya masih kecil. Tanpa beban hidup. Saya rassa massa kecil bermain bersama kawan-kawan kecilku indah sekali.


Siang itu aku mulai bermain, berkumpul bersama sahabat-sahabat ku tercinta. Siang yang panas terik . Bermain bola jadi salah satu mainan yang paling seru. Biar legam asalkan bersama. Sbeleum itu aku perkenalkan Sahabat kecil ku bernama Daud, Abil, dan vri. Kemanah-kemanh kami selalu ber-empat. Si vri ini salah satu pendatang di pulau kami. Karena kebetulan ayahnya seorang guru kepala sekolah, ibunya juga sama seorang guru sekolah dasar. Dirumahnya si vri ini selalu jadi tempat markas nonton film Tom and Jery dan Power Ranger. si abil juga sahabat saya yang paling unik, badanya kecil, kepalnaya agak melonjong. ayahnya bernama Seram ibunya rai. Ibunya sangat baik hati, ayahnya si seram itu sang seniman bisa dibilang seperti itu. Setiap usahanya (bisnis) yang dilakoninya selalu saja gagal memang si seram. Ouh yaa satu lagi, ini sahabat saya lebih kurang mirip-mirip seperti saya. Tahun dan tanggal lahirnya semuanya sama. Postur badanya hamper-hampir sama. Anak nya cerdas. Dia ditinggali oleh ayahanya sejak kecil, dia anak yatim piatu. Neneknya orang butun.


Siang itu, kami bermain bola. Dihalaman depan sekolah. Padhal itu lapngan bola volley dan takrau yang memanjang menjadi satu. Anak kecil harus bermian dilapngan bola yang kecil. Pagar sekolah menjadi sasaran tendangan maut kami, tiang gawangnya adalah manusia. Resiko jadi tiang gawang selalu menjadi sasaran amuk tendangan maut. satunya lagi tiang volley. Ini Cuma permainan sepak penalty. Tidak terasa sore menuju malam, kami pun bubar dan bersiap-siap pergi ke masjid.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun