Aku tulis puisi ini saat senja di makam bapak,
setelah doa terkelupas menjadi cahaya-cahaya di cakrawala.
Menggelarlah resah berdesakan dalam timbunan ruang yang sesekali menyita diam.
Lalu angin berhembus di tempat biasa ia menamatkan perjalanannya.
Dari utara hingga selatan.
Lewati ranting-ranting kamboja yang tumbuh subur dan berbunga.
Aku belum beranjak dari gundukan tanah merah yang beku..
Masih kaku dan terus ucapkan doa.
Hingga tiba-tiba aku mendengar suara.
Seperti suara ayah memanggil namaku dari kejauhan dan entah di sebelah mana.
Aku mencoba mencari arah suara itu namun sekejap hilang di telan angin.
Yang ada hanya sekawanan burung terbang melintas membawa sepucuk duka yang entah di alamatkan kepada siapa.
Hinggap di ujung pohon kecapi menunduklah ia.
Mengapa lelaki angkuh harus menangis.
Mengapa lelaki angkuh harus bersedih.
Bukankah waktu akan memakan usia.
Dan kembali kita di satukan tanah.
Terdiamlah matahari matanya terpejam.
Sekawanan burung menyambar awan.
Mengajakku bangkit lalu berjalan.
Meninggalkan kesedihan.
Dan berkata dalam hati.
" Sebulan lagi aku akan datang pak, mengunjungi rumahmu
dan membayar tagihan peristirahatanmu ".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H