Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Menyusuri Sebuah Ingatan

17 April 2015   03:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:00 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku menjelajahi malam dengan telanjang sedikit brutal memang tapi tak apalah toh hidup itu lebih asyik dengan keterbukaan.
Mata rembulan mengintip dari balik awan, malu-malu, mau-mau, ragu-ragu.
Kemudian aku mulai memasuki ruang-ruang cahaya, lampu kamar, lampu taman,
lampu jalan raya, lampu warung kopi hingga lampu mobil patroli yang kesepian di jalan.

Di ujung jalan di dekat warung rokok aku melihat angin tengah membisikan sesuatu kepada gadis-gadis cantik yang asyik di goda aparat.
Di kemaluannya tumbuh lumut, hijau dan sulit di cabut. Suara mereka terdengar hingga aku malu sendiri, sudah lama seperti itu aku pikir telah berubah.
Aku berjalan terus di atas trotoar yang baru saja di cat, hitam, putih seperti warna hidupku yang hanya mempunyai dua pilihan.

Seseorang lelaki tua meringkuk tertidur dipinggiran toko kacamata, nasibnya baru saja di serahkan kepada hari dan waktu.
Mimpi dan harapannya di gerus menjadi butiran-butiran debu di bawa angin dan mampir di tembok-tembok gedung birokrasi kemudian di beritakan oleh wartawan dan para penyiar tv.
Menurut kacamata hatiku hidupnya telah lama bersenggama dengan takdirnya yang buruk.

Malam ini dingin, semakin lurus terus aku berjalan. Rongga-rongga nafasku berbenturan menabrak kendaraan yang berlari kencang. Tiba-tiba sebuah ambulance dengan suaranya yang menakutkan itu melesat di depanku, aku teringat kepada suatu masa di mana pernah aku tergeletak di dalamnya sebab sebilah belati tertancap di pinggang kanan.
Ahh masa lalu, masa lalu itu kembali teringat saat, bukankah aku kini telah sembuh dari segala sesuatu yang haram.

Tepat di bawah lampu merah aku berhenti tertegun melihat papan bilboard dengan seorang lelaki tampan yang sedang menyeruput kopi, nikmat rasanya, gagah dan berani.
Aku jadi teringat sebuah judul film filosofi kopi yang saat ini ramai di iklankan di tv tetapi sayang aku bukan penikmat kopi, aku penikmat daun teh yang dulu sebagai teman menghisap ganja, diam dan menyukai sepi.

Langkahku berhenti di depan toko acesoris motor, dulunya sebelum ini adalah gedung tempatku pertama kali bekerja. Cafe dan restauran yang menyajikan menu makanan dan minuman yang terbaik. Orang-orang penting pemerintahan sering singgah di sini, sosialita, artis ternama hingga kaum gay dan lesbi.
Di cafe ini pertama kali aku mendengar lagu jazz awalnya berantakan tak aku pahami ketukan nadanya namun lama-lama aku mengerti hingga kini banyak album jazz yang aku koleksi.

Tiba-tiba seseorang lelaki menepuk pundakku dari belakang.
Aku menolehnya, lelaki dengan safari hitam, berkumis lebat dengan potongan rambut ala tentara Jepang.
Kemudian ia menegurku dan menyebut namaku.
" Halo Mas Handy, sedang apa di sini, telanjang kaki dan tak berpakaian. "
Aku terpukau lelaki itu masih mengenalku dengan baik, akupun balik menyapa.
" Halo komandan, apa kabarnya? aku hanya sedang berjalan-jalan saja mencari kenangan-kenangan yang tercecer di daerah ini barangkali masih ada yang tersisa bisa ku pungut untuk ku bawa pulang.
Kemudia ia tertawa geli lalu mengajakku duduk di sebuah warung sambil menawarkan minuman dingin.

Kami saling berbagi cerita, masa-masa lalu, masa-masa indah dan nakal, seakan-akan semua itu bangkit dari segala penjuru tempat ini. Ada setengah jam bercerita kami pun mengakhirinya dengan perasaan sia-sia.
" Baiklah komandan senang bertemu anda kembali di sini, hidupku telah banyak berubah, begitupun tempat ini ".

Aku pamit, pergi meninggalkannya sendiri bersama dengan sejumput cerita lekat tak tersisa. Sebentar lagi subuh datang, angin semilir pelan mengait ribuan jejak dalam bahasa.
Aku ingin pulang lalu mencipta sebuah puisi dengan garis dan pantulan warna hitam serta putih.
Kembali aku telusuri jalan pulang.
Gadis-gadis pelacur sudah tak ada yang tersisa hanya wanginya.
Lelaki tua di toko kacamata masih meringkuk berselimut sarung dan gombal.
Para pedagang gule dan nasi goreng mulai berkemas merapikan dagangannya.

Gedung-gedung perkantoran dan bank yang tadi terlewati tetap diam.
Sebuah gereja, tanda salib dan loncengnya di jaga para malaikat, telanjang dan bersayap.
Toko-toko bunga sudah tak ada, di ganti sebuah taman muda-mudi tempat berkumpul tak jelas maknanya.
Aku lewati semua itu, terus aku lewati.
Aku ingin cepat-cepat pulang, kata-kata mulai bermunculan di kepala, aku ingin menulis puisi.

Kemudian aku menyeberangi jalan tetapi tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak tubuhku hingga terpelanting jauh, menggelepar menggores aspal, sebentar mobil itu diam kemudian berjalan kembali.
Meninggalkan tubuhku yang berdarah penuh goresan-goresan, kata-kata yang tadi ingin ku rangkai menjadi puisi pun ikut terluka, tak bernyawa lalu terbawa angin menjadi barisan doa.

handypranowo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun