Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengenang Lautan Hidup

12 Februari 2015   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:22 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kenangan itu telah membawaku ke tengah lautan di mana ombak menjadi perahuku.
Aku berlayar terus berlayar kepada puluhan perahu nelayan dan ribuan ikan aku katakan.
Bahwasanya kenangan itu bagai bentang cakrawala, warna merah dan jingga, memupuri hidupku yang tak lama lagi di telan senja.
Diam-diam angin memasuki lubang telingaku mengatakan apa yang pernah luput dalam hidupku.
Bergetarlah jiwaku, terombang-ambing ke dalam masa lalu.

Ikan-ikan terus berenang, kilau-kilau mutiara memancar dari kedalaman, burung-burung camar berteriak dari kejauhan.
Kepak sayapnya putih kemilau seperti awan melambaikan tangan ke arahku.
Di serulah namaku, bersahutan suaranya memekakkan telinga mengundang mendung datang membawa kabar tentang langit yang jauh mengharapkan kehadiranku.
Apa bekal yang mesti ku bawa, seluruh umpan di dalam sakuku habis tak tersisa.
Telah ku bagikan semasa hidupku sambil terus menantang debur gelombang.

Aku sudah tidak punya apa-apa kecuali kenangan yang pernah ku simpan di dasar lautan,
di antara ceruk dan palung, lembah dan ngarai.
Kini bunga-bunga telah menjadi karang tempat bersemayamnya kehangatan, lalu ku petakan susunan bintang menjadi wajahku, wajah masa lalu, masa kini dan yang akan datang.
Aku hanya menerka semoga menjadi cermin bayang hidupku agar tak luput dan selalu siaga di kala badai datang.

Aku terus berlayar, semakin jauh, semakin dekat diriku dengan cakrawala.
Bias warnanya berpendar, aku turuti garisnya meski ku tahu tak bertepi.
Ikan-ikan terus berenang, lompat sana,lompat sini, kilau-kilau mutiara merayuku di kedalaman,
aku tak goyah terus ku ikuti garis tepi bibir cakrawala.
Maka di saat aku tak mampu lagi mendayung dan butuh semangat berjuang.
Burung-burung camar kembali datang, meneriakan lagi namaku untuk tetap bangkit.

Kemudian aku bersujud. Lenyap di antara kabut.

110215

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun