Akhirnya aku memberanikan diri untuk memungut butir-butir gerimis yang jatuh di helai rambutmu dan ku simpan ke dalam saku celana. Itulah yang dapat aku lakukan di dalam kebekuan hatiku, berharap butir-butir gerimis itu menghisap dan menyimpan harum rambutmu. Dan apabila aku rindu tinggal aku keluarkan saja butir-butir itu dari saku celanaku lalu menciumnya sebelum aku tidur.
Tetapi alangkah sialnya hariku saat itu, ternyata saku celanaku tak mampu menyimpan seluruh butir-butir yang ada di helai rambutmu tanpa aku sadari sebagian butir-butir itu jatuh meresap ke dalam tanah lalu di hisap akar pohon bunga kamboja.
Aku sedikit menyesal mengapa di saat terakhirmu datang aku tidak langsung menciumnya, mencium harum rambutmu yang dingin dan lembut.
Yang sejak pertama kali jumpa aku suka wanginya.
Padahal aku tahu setelah pertemuan itu kamu tak akan kembali lagi kamu akan pergi bersama udara yang pernah membawamu hidup.
Kemudian kamu berlari dan masuk ke dalam rumahmu meninggalkan aku bersama gerimis meski sebelumnya kamu sempatkan menyelipkan secarik kertas ke dalam genggaman tanganku.
Kertas biru yang aku tahu pasti berisi puisi.
Gerimis belum juga berhenti lalu aku sadari aku pun mesti pergi.
Langkah kaki pun terasa berat, aku ingin menangis tapi aku tak mampu.
Aku tahan, sebab kamu tak suka dengan lelaki yang mudah menjatuhkan air mata.
Kasih, bagaimana mungkin aku lupakan hari itu.
Hari di mana aku bertemu denganmu meski tanpa suara namun di dalam hatiku berkata.
Jangan pergi dulu aku sangat mencintaimu, tunggulah sampai kita tua setidaknya meski takdir tak akan mempersatukan langkah cinta kita.
Kasih, aku di sini tepat di hari kepergianmu pada tahun lalu bersama guguran bunga-bunga kamboja yang sama dengan harum rambutmu.
Semoga engkau bahagia dan tenang dalam gerimis yang panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H